Jumat, 16 Maret 2012

Memehami Politik Indonesia


Politik merupakan wilayah konsep dan praktis yang sangat luas. Sebagai sebuah konsep, politik bisa berwujud suatu yang abstrak, namun terkadang bisa diukur dengan kriteria-kriteria tertentu. Sebagai praktis, politik bisa terjadi di wilayah yang kecil, misalnya di suatu desa, tetapi juga bisa terjadi di wilayah yang besar, misalnya dalam suatu negara atau bahkan antar negara. Kesadaran politik warga negara baru bisa dikategorisasikan sebagai memadai jika kesadaran itu tumbuh dari pengetahuan dan pemahamannya yang cukup tentang konsep-konsep dasar politik.  Nalar politik, dengan demikian, sangat terkait dengan pemahaman yang memadai tentang bekerjanya suatu teori politik sekaligus memahami pengaruh-pengaruh langsung dari bekerjanya sistem tersebut terhadap diri dan masyarakat pada umumnya.
(Harold D. Lasswell) politik adalah soal “siapa mendapatkan apa, kapan dan dengan cara yang bagaimana”. Esensi politik adalah konflik. Karena politik adalah hal mencari, mempertahankan dan memanfaatkan kekuasaan. Yang dimaksud dengan hak-hak politik warga negara adalah mencakup :
  1. Hak memilih dalam pemilihan umum.
  2. Hak menyatakan pendapat dan berasosiasi.
  3. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan lembaga-lembaga negara yang menyimpang dari kewenangannya.
Kekuasaan adalah konsep yang berhubungan erat dengan masalah pengaruh, persuasi, manipulasi, koersi, kekuatan dan kewenangan. Kekuasaan juga bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku orang atau kelompok lain itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.
Hubungan Politik dan Kekuasaan
Secara umum dapat dirumuskan bahwa politik adalah berbagai kegiatan dalam suatu sistem atau negara yang menyangkut proses untuk menentukan tujuan bersama (negara) dan melaksanakan tujuan itu. Untuk menentukan dan melaksanakan keputusan itu diperluakan pengambilan keputusan (decision making) yang diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan umum (public policy) yang di dalamnya diatur pembagian (distribusion) dari sumber-sumber (kekuasaan) yang ada.
Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan itu diperlukan kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), yang akan dipakai baik untuk membangun kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara yang dipakai bisa
dalam bentuk persuasi (meyakinkan), dan kalau perlu paksaan (coersion). Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan-tujuan pribadi seseorang (privat goals).
Pengaruh (influence) adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar mengubah sikap atau perilakunya denga suka rela. Persuasi adalah kemampuan meyakinkan orang lain dengan argumentasi untuk melakukan sesuatu.Manipulasi adalah penggunaan pengaruh di mana yang dipengaruhi tidak mengetahui bahwa tingkah lakunya sebenarnya mematuhi keinginan pemegang kekuasaan.
Dalam banyak kasus yang terjadi, politik atau kekuasaan sering dipraktekkan sebagai arena atau alat untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan. Sehingga tidak mengherankan kalau politik atau kekuasaan sering bermakna “kotor” atau “menghalalkan segala cara”. Dalam suatu sistem demokratis, politik atau kekuasaan mempunyai makna dan dipraktekkan secara positif dan rasional. Dalam sistem ini politik/kekuasaan adalah alat untuk menciptakan kesejahteraan umum dan mendukung proses-proses sosial yang adil dan manusiawi. Seperti dikatakan M. Amien Rais, kekuasaan hendaknya tidak menjadi tujuan dari partai politik, melainkan alat untuk memulihkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Koersi adalah ancaman paksaan yang dilakukan seseorang/kelompok terhadap pihak lain agar sikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang memiliki kekuasaan. Kekuatan (force) adalah penggunaan tekanan fisik kepada orang lain agar melakukan sesuatu. Kewenangan (authority) adalah kekuasaan yang memiliki kebasahan (legitimate power). Sedang kekuasaan tidak selalu memiliki kewenangan. Sumber kewengan ada lima, yaitu :
  1. Tradisi atau kepercayaan
  2. Tuhan atau wahyu
  3. Kualitas pribadi sang pemimpin.
  4. Peraturan perundang-undangan
  5. Dan keahlian/kekayaan.
Legitimasi adalah penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap kewenangan dan kekuasaan. Ada tiga cara mendapatkan legitimasi, yaitu :
  1. Simbolis. Yaitu dengan memanipulasi kecendrungan moral, emosional, tradisi, kepercayaan dan nilai-nilai budaya pada umumnya dalam bentuk simbol.
  2. Prosedural. Yaitu dengan menjanjikan dan memberikan kesejahteraan material pada masyarakat seperti menjamin tersedianya kebutuhan dasar (basic needs), fasilitas kesehatan, pendidikan, sarana produksi pertanian, dan lain-lain.
  3. Materiil. Yaitu dengan cara menyelenggarakan pemilihan umum untuk menentukan wakil rakyat, presiden dan para anggota lembaga tinggi negara atau referendum untuk mengesahkan suatu kebijakan umum.
Konflik adalah perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan di antara sejumlah individu, kelompok atau organisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah. Sebab terjadinya konflik ialah adanya benturan kepentingan, baik yang bersifat horisontal (antara masyarakat dengan masyarakat) maupun vertikal (masyarakat vs pemerintah). Dilihat dari strukturnya, ada beberapa jenis konflik, yaitu :
  1. Konflik menang kalah (zero-sum conflict). Adalah dimana situasi konflik yang bersifat antagonistik (berlawanan), sehingga tidak memungkinkan tercapainya kompromi di antara pihak-pihak yang berkonflik.
  2. Konflik menang-menang (non zero-sum conflik). Adalah situasi konflik dimana pihak-pihak yang berkonflik masih mungkin mengadakan suatu kompromi dan kerja sama sehingga semua pihak aka mendapatkan bagian dari konflik itu.
Bentuk-bentuk pengaturan konflik antara lain : konsiliasi, mediasi, arbitrasi, dan lain-lain. Konflik antar partai politik diatur dengan cara :
  1. Dilakukan koalisi pemerintahan yang stabil di antara partai-partai politik.
  2. Diterapkan prinsip proporsionalitas, yaitu posisi-posisi pemerintahan yang penting didistribusikan kepada partai-partai politik sesuai dengan proporsi jumlahnya dalam keseluruhan penduduk.
  3. Diterapkan sistem saling-veto, yaitu suatu keputusan politik tidak akan diputuskan tanpa disetujui oleh semua partai politik yang berkonflik.

PARTAI DAN PARTISIPASI POLITIK

(Carl Friedrich) Partai politik adalah kelompok manusia yang terorganisasikan secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin partai dan berdasarkan kekuasaan itu akan memberikan kegunaan materiil dan idiil pada para anggotanya.
Macama-macam fungsi partai politik, antara lain :
1. Sosialisasi Politik
Yaitu proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat.
2. Rekrutmen Politik.
yaitu seleksi dan pemilihan serta pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya.
3. Partisipasi Politik
Kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan.
4. Pemandu Kepentingan.
Yaitu kegiatan menampung, menganalisis dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan menjadi beberapa alternatif kebijakan umum, kemudian diperjuangkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
5. Komkunikasi Politik
Yaitu proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada rakyat atau sebaliknya.
6. Pengendalian Konflik
Partai politik berfungsi mengendalikan konflik melalui dialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirasi (cita-cita) dan kepentingan dan membawa permasalahan ke dalam musyawarah badan perwakilan rakyat (DPR) untuk mendapat penyelesaian berupa keputusan politik.
Platform partai politik adalah kebijakan atau program yang ditawarkan partai politik untuk melaksanakan fungsinya sebagai tempat aspirasi anggotanya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik adalah :
  1. Lingkungan sosial politik tidak langsung, seperti sistem politik, media massa, sistem budaya, dan lain-lain.
  2. Lingkungan politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor, seperti keluarga, teman, agama, kelas, dan sebagainya.
  3. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu.
  4. Faktor sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan sesuatu kegiata politik, seperti suasana kelompok, ancaman, dan lain-lain.
Faktor yang mempengaruhi pemilih dalam memberikan suaranya kepada partai politik tertentu dapat dibedakan menjadi empat sesuai dengan pendekatan yang digunakan, yaitu :
1. Pendekatan Struktural
Kegiatan memilih merupakan produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem kepartaian, sistem pemilu, program yang ditonjolkan partai dan lain-lain.
2. Pendekatan Sosiologis
Kegiata memilih sangat dipengaruhi oleh konteks sosial, yaitu latar belakang demografis dan sosial ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal (desa-kota), pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya.
3. Pendekatan Psikologi Sosial
Kegiatan memilih dipengaruhi oleh identifikasi partai. Partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengan pemilih merupakan partai yang akan selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor lain.
4. Pendekatan Pilihan Rasional
Kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi.
Di dunia ini ada beberapa negara yang tidak memiliki partai politik, diantaranyaArab Saudi, Berunai Darussalam, dan lain-lain. Tipologi partai politik dapat dibedakan dari faktor-faktor, yaitu :
  1. Faktor sumber-sumber dukungan partai.
  2. Faktor organisasi internal partai
  3. Faktor cara bertindak dan fungsi.
Dari faktor sumber dukungan partai, tipologi partai politik dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
  1. Partai Komperhensif. Yaitu partai yang berorientasi pada pengikut (clientele-orientied), yaitu partai yang berusaha mendapatkan suara sebanyak mungkin dari setiap warga negara.
  2. Partai Sektarian. Yaitu partai yang memakai kelas, daerah (region), agama, atau ideologi sebagai daya tariknya.
Dilihat dari organisasi internal, partai politik dibedakan menjadi :
  1. Partai Tertutup. Yaitu partai dengan keanggotaan terbatas atau partai yang mengenakan kualifikasi (persyaratan) yang ketat untuk anggotanya.
  2. Partai Terbuka. Yaitu partai yang membolehkan setiap orang menjadi anggota dan mengenakan persyaratan yang sangat ringan atau tidak ada sama sekali bagi keanggotaannya.
Dari cara bertindak dan fungsinya, partai politik dapat dibedakan menjadi :
  1. Partai Khusus (Specialized). Yaitu partai yang menekankan keterwakilan (representatif), agregasi (pengumpulan), pertimbangan dan perumusan kebijakan, partisipasi serta kontrol pemerintah untuk maksud-maksud terbatas dan untuk suatu periode waktu tertentu.
  2. Partai Menyebar (Difussed). Yaitu partai yang menekankan integrasi, pengawasan permanen dan total, mobilisasi dan pembangunan institusi.
 Sistem kepartaian bersifat integratif bilamana partai yang ada bersifat sektarian dalam menekankan penolakan simbol-simbol aksi politik, tertutup dan menyebar. Sistem kepartaian bersifat kompetitif bilamana partai tersebut komperhensif, dimana organisasi partai bersifat terbuka dan fungsi-fungsinya terspesialisasikan. Sistem partai integratif cendrung menjadi sistem partai tunggal, sedang sistem kepartaian kompetitif cendrung untuk mempunyai sedikitnya dua partai atau lebih.
Dari segi jumlah partai yang ada, partai politik dapat dibekan menjadi :
  1. Sistem partai tunggal
  2. Sistem dwi partai
  3. Dan sistem multi partai

Partisipasi Politik
Partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan keputusan yang menyangkut dan mempengaruhi hidupnya. Asumsi yang mendasari partisipasi politik adalah orang yang paling tahu tentan kebutuhan dan apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri. Ada beberapa macam bentuk partisipasi politik, yaitu :
  1. Partisipasi aktif. Yaitu kegiatan mengajukan usul mengenai suatu kebijakan, mengajukan kritik terhadap suatu kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin atau pemerintahan.
  2. Partisipasi pasif. Yaitu kegiatan yang mentaati pemerintah, menerima dan melaksanakan apa saja yang diputuskan pemerintah.
  3. 3.       Golongan Putih (GOLPUT).
  4. Partisipasi politik otonom. Yaitu suatu model pertisipasi politik yang dicirikan berkembangnya inisiatif mandiri dari rakyat untuk berpartisipasi dalam politk dan pemerintahan.
  5. Partisipasi politik yang dimobilisasi.
Hambatan bagi partisipasi politik otonom, yaitu :
  1. Hambatan struktural, yaitu kecendrungan pada negara untuk melakukan regulasi politk secara ketat agar kepentingan negara teramankan.
  2. Hambatan kultural, yaitu tingkat pengetahuan, kesadaran dan kecerdasan politik rakyat yang belum memadai.
Contoh atau model partisipasi politik masyarakat antara lain :
  1. Kegiatan warga negara untuk mengikuti pemilihan umum.
  2. Lobi, yaitu usaha perorangan atau kelompok untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan.
  3. Kegiatan berorganisasi yang tujuannya adalah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan.
  4. Tindakan kekerasan juga bisa merupakan suatu bentuk partisipasi.
Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik adalah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik).

PEMILIHAN UMUM

Pemilihan Umum (PEMILU) adalah pemberian suara oleh rakyat melalui pencoblosan tanda gambar untuk memilih wakil-wakil rakyat atau anggota DPR. Makna hak pilih adalah hak setiap warga negara untuk mengikuti pemilu atau mencoblos tanda gambar dalam pemungutan suara. Setiap warga negara yang pada waktu pemilu sudah berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Fungsi pemilihan umum adalah mengatur prosedur seseorang untuk dipilih menjadi anggota badan perwakilan rakyat (DPR) atau kepala pemerintahan.
Ada beberapa tujuan pemilihan umum, yaitu :
  1. Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum.
  2. Mekanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan perwakilan rakyat sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin.
  3. Sarana memobilisasikan atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.
Ada dua macam pelaksanaan sistem pemilu, yaitu :
  1. Pemilu Sistem Distrik.
Sistem pemilihan di mana wilayah suatu negara yang menyelenggarakan pemilu menentukan distrik-distrik pemilihan yang jumlanya sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan atau tersedia di parlemen (DPR). Tiap distrik hanya memilih seorang wakil untuk mewakili distrik bersangkutan di DPR. Calon terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak di distrik itu. Dalam sistem ini yang dipilih bukan partai, tetapi si calon. Sistem distrik umumnya lebih sesuai dengan sistem dua partai agara suara yang hilang tidak terlalu banyak.
2.       Pemilu Sistem Proporsional
Sistem pemilihan di mana wilayah suatu negara dibagi atas daerah-daerah pemilihan dan kepada daerah-daerah ini dibagikan sejumlah kursi yang diambil dari kursi yang tersedia di parlemen untuk diperebutkan dalam pemilihan umum di daerah tersebut. Pembagian kursi didasarkan pada faktor imbangan jumlah penduduk. Kursi-kursi tersebut dibagikan kepada partai politik peserta pemilu sesuai dengan imbangan yang diperoleh masing-masing partai dalam pemilu. Misalnya 400.000 suara satu kursi, maka setiap partai akan mendapat satu kursi jiak bisa mencapai jumlah tersebut, sehingga wakil dari satu daerah pemilihan untuk anggota DPR lebih dari satu orang. Dalam sistem ini yang dipilih adalahh tanda gambar, bukan calon.
Dalam sistem pemilu proporsional yang ditonjolkan atau yang diutamakan adalah partai-partai politik (orsospol) peserta pemilu yang dikampanyekan adalah program atau ideologi orsospol tersebut. Pimpinan orsospol berkuasa penuh menentukan calon-calonnya dalam suatu pemilu, demikian juga urutannya. Karen itu dapat dipastikan bahwa loyalitas para calon sangat tinggi terhadap orsospolnya.
Sistem proporsional dapat dilaksanakan dalam beberapa model, yaitu;
  1. single tranferrable vote, di mana calon terpilih didasarkan “urutan keutamaan”. Bila suara untuk satu calon sudah terpenuhi, maka kelebihannya akan ditransfer pada urutan berikutnya dan seterusnya.
  2. stelsel daftar (lis stelsel). Dalam daftar (lis) dicantumkan para calon dari masing-masing peserta pemilu. Cara ini dikembangkan dengan dua pilihan. Pertama, kepada para pemilih diberikan kesempatan untuk memilih tanda gambar kedua, para pemilih diberi kesempatan untuk memilih gambar atau nama calon yang terdaftar.
Keunggulan sistem distrik, yaitu :
  1. karena kecilnya distrik, maka wakil terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik. Sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Lagipula kedudukannya terhadap partainya akan lebih bebas, oleh karen dalam pemilihan semacam ini faktor personalitas dan kepribadian seseorang merupakan faktor terpenting untuk dapat terpilih.
  2. Sistem distrik mendorong ke arah integrasi atau aliansi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hannya satu. Hal ini mendorong partai-partai kecil mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama. Sistem distrik akan mendorong penyederhanaan partai-partai tanpa pelaksana.
  3. Berkurangnya partai dan meningkatnya kerja sama antar partai-partai, mempermudah terbentuknya sistem politik yang stabil dan meningkatkan stabilitas nasional.
  4. Sistem ini sederhana dan mudah untuk dilaksanakan.
Kelemahan sistem distrik, yaitu :
  1. Sistem ini kurang memperhatikan adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi bila golongan-golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.
  2. Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali.
Keunggulan sistem proporsional, yaitu :
  1. Sistem ini dianggap representatif oleh karena jumlah wakil orsospol terpilih dalam suatu pemilu sesuai dengan imbangan jumlah suara yang diperolehnya.
  2. Sistem ini dianggap lebih adil, karena semua golongan dalam masyarakat mempunyai peluang untuk memperoleh wakil di parlemen.
Kelemahan sistem proporsional, yaitu :
  1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Sistem ini tidak menjurus ke arah integrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat. Mereka lebih cendrung untuk mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong untuk mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Karen itu, sistem ini kurang mendorong partai-partai untuk bekerja sama apalagi berintegrasi. Partai yang bersaing menyulitkan munculnya mayoritas sederhana apalagi absolut dalam suatu pemilu.
  2. Sistem ini memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan orsospol dalam penentuan calon-calonnya.
  3. Organisasi dan biaya sistem ini agak besar.
Dalam sistem distrik dikenal hak recall. Tetapi bila hak recall digunakan, maka pada distrik pemilihan yang wakilnya di – recall, diadakan pemilihan ulang. Jadi kalau digunakan hak recall, maka ada kemungkinan wakil dari distrik tersebut dapat terganti dengan calon dari partai lain.
Kampanye pemilu adalah kegiatan partai politik yang menghadirkan massa di mana juru kampanye menyampaikan program partai politik dan massa mendengarkan atau menanyakan tentang program-program itu. Juru kampanyeadalah orang yang bertugas menyampaiakan program partai politik baik melalui ceramah, diskusi atau forum yang lain.
Syarat-syarat pemilu yang demokratis, yaitu :
  1. ada pengakuan terhadap hak pilih universal. Semua warga negara, tanpa pengecualian yang bersifar  politis dan ideologis, diberi hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu.
  2. Ada keleluasaan untuk membentuk “tempat penampungan” bagi pluralitas aspirasi masyarakat pemilih. Masyarakat memiliki alternatif pilihan saluran aspirasi politik yang leluasa. Pembatasan jumlah kontestan atau organisasi peserta pemilu (OPP) – yang hanya mempertimbangkan alasan yuridis – formal dengan menafikan perkembangan real aspirasi masyarakat – adalah sebuah penyelewengan dari prinsip ini.
  3. Tersedia mekanisme rekrutmen politik bagi calon-calon wakil rakyat yang demokratis. Harus ada sebuah mekanisme pemilihan calon wakil rakyat yang tidak top down (diturunkan oleh elite partai dan penguasa, dari atas), melainkan bottom up (berdasarkan inisiatif mandiri dan aspirasi dari bawah). Praktek dropping calon wakil rakyat yang berjalan di Indonesia selama ini adalah sebuah kekeliruan. Seusai pemilihan di tingkat internal partai, seyogiyanya tidak ada mekanisme eksternal – partai yang dapat membatalkan – keputusan demokratis yang telah dibuat di dalam partai.Pemerintah, misalnya, selayaknya tidak diberik kekuasaan birokratis untuk melakukan seleksi akhir atas nama calon wakil rakyat yang diajukan partai.
  4. Ada kebebasan bagi pemilih untuk mendiskusikan dan menentukan pilihan. Masyarakat pemilih – pada semua lapisan – kurang diberi keleluasaan untuk tahu figur-figur yang harus mereka piliih, seberapa dekat aspirasi politik sang calon legislator itu dengan aspirasi politk mereka, dan mendiskusikan semua itu secara demokratis. Tentu saja, keleluasaan-keleluasaan itu harus dilengkapi dengan keleluasaan lain : kekuasaan menentukan pilihan. Tanpa keleluasaan-keleluasaan tersebut sebuah prosesi pemilu dapat menjebak masyarakat pemilih untuk “membeli kucing dalam karung”. Bahkan, potensial mengubah pemilu sebagai sebuah “pesta demokrasi” menjadi “pesta mobilisasi”.
  5. Ada komite atau panitia pemilihan yang independen. Sebuah pemilu yang sehat membutuhkan sebuah komite yang tidak memihak : komite yang tidak berpretensi untuk merekayasa akhir pemilu.
  6. Ada keleluasaan bagi setiap kontestan untuk berkompetisi secara sehat. Peluang kompetisi ini tentu saja mesti diberikan mulai dari prolog sebuah pemilu (penggalangan massa serta pemassalan ideologi dan program partai), dalam tahap rekrutmen dan penyeleksian calon anggota legislatif, hingga ke tahap kampanye dan tahap-tahap berikutnya.
  7. Penghitungan suara yang jujur. Adalah percuma memenuhi semua persyaratan di atas, manakala pada akhirnya tidak ada penghitungan suara yang jujur – dalam arti faktual dan transparan.
  8. Netralitas birokrasi. Dalam praktek sistem politik manapun, prosesi pemilu tidak bisa melepaskan diri dari peran birokrasi. Bagaimanapun, manajemen pemilu adalah sebuah kerja birokrasi. Dalam konteks ini, pemilu demokratis – kompetitif membutuhkan birokrasi yang netral, tidak memihak, dan tidak menjadi perpanjangan tangan salah satu kekuatan politik yang ikut bertarung dalam pemilu.

Haruskah Menggugat Demokrasi


Pengertian demokrasi
  Demokrasi berasal dari Bahasa Yunani, yakni “demos” yang artinya rakyat dan “Kratos” yang berarti pemerintahan. Karena itu dapat ditafsirkan sebagai Pemerintahan Rakyat. Sebenarnya banyak ragam defenisi demokrasi, tetapi pada umumnya mengarah pada definisi yang disampaikan Abraham Lincoln tahun 1863 bahwa “ government of the people, by the people, and for the people” (Pemerintahan dari rakyat ke rakyat dan untuk rakyat).
  Demokrasi mengemban misi humanitas. Sebuah bentuk penguatan unsur kemanusiaan. Demokrasi mencoba untuk mendudukkan manusia sama tinggi dan sama rendah. Di alam demokrasi, semua diatur menurut prinsip kesetaraan dan egalitarian. Tidak seperti dalam monarki, yang puncak kebenaran berada di tangan sang raja. Singkatnya, demokrasi menjamin hak-hak mendasar manusia.
Wajar jika kemudian demokrasi menjadi narasi raksasa. Namanya bergema melintasi samudera, menembus batas geografis negara, bahkan menembuas batas-batas sekat primordial. Semua negara di dunia ini mengklaim bahwa mereka mengadopsi konsep demokrasi.
 Demokrasi seolah menjadi trend. Ada sebentuk kebanggaan ketika berbicara tentang demokrasi.Bahkan mungkin, orang yang tidak mengerti ‘demokrasi’ pun akan memaksakan diri untuk bicara demokrasi. Meskipun semua negara mengklaim penataan negaranya dengan konsep demokrasi, namun nyatanya penerapannya berbeda-beda. Namanyapun kadang bertambah, seperti demokrasi pancasila, demokrasi liberal, demokrasi sosialis, dan sebagainya.
  Definisi menurut Anzam Demokrasi di indoesia itu bukan sebagai Pemerintahan Rakyat, tetapi Pemerintahan Parpol, “ government of political party, by political party, and for  political party  (Pemerintahan dari parpol, oleh parpol dan untuk parpol).

Realitas Demokrasi Indonesia
  Tak terkecuali negara kita, Indonesia. Negara kitapun mengklaim menggunakan konsep-konsep demokrasi dalam menata negara. Sebutlah misalnya, demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah benar apa yang ditawarkan demokrasi telah mengejawantah di Indonesia? Dengan arif, kita menjawab ‘BELUM’. Hampir semua makna indah tentang demokrasi itu belum terasa sampai hari ini. Kita masih berada di lorong gelap demokrasi. Semua tampak gelap, pekat terselubungi kabut.
  Mata kita (rakyat) tak sanggup untuk menembus kegelapan itu. Hanya kelompok-kelompok tertentu yang bisa melihat dalam gelap, seperti tikus/kelelawar, dan sejenis binatang malam lainnya. Mereka inilah yang barangkali mendapat manfaat dari sistem yang kita kenal sebagai “demokrasi” ini.
Sayangnya, mereka termasuk kelompok minoritas. Sementara kelompok mayoritas, masih terus menerus bertengkar dan memperebutkan senter, yang nyalanyapun sudah redup. Kelompok mayoritas ini, hanya mampu meraba-raba apa yang ada disekitarnya. Tak jarang tangan-tangan mereka menjadi terluka karena yang diraba ternyata ular kobra, lalu mati.
  Kelompok minoritas yang memiliki kemampuan melihat dalam gelap, kerap membodohi kelompok mayoritas. Dengan perut yang buncit karena kekenyangan, kelompok minoritas mengeluh kepada mayoritas, bahwa dia sedang lapar.
  Ini adalah gambaran, betapa hari ini kita tersesat di lorong gelap demokrasi. Politisi dan kaum elit lainnya, hanya menggunakan “demokrasi” sebagai sebuah retorika politik untuk menjustifikasi tindakan-tindakannya yang mirip kelompok minoritas.
 “Atas nama demokrasi” dan “Atas nama rakyat” … slogan ini yang paling sering muncul untuk membius rakyat dalam ketidakberdayaannya.
  Bukan karena rakyat ‘bodoh’ atau tidak tahu bahwa mereka sedang dibohongi. Tapi karena tidak punya waktu untuk mempersoalkan hal itu. Waktu mereka habis tersita untuk cari makan, biaya sekolah, dan biaya-biaya lainnya yang terasa mencekik leher.
  Demokrasi yang kita agungkan, ternyata tidak mampu berbuat apa-apa terhadap kaum marginal. Pengemis, gelandangan, pemulung, pengamen, dan sebagainya. Mereka masih tetap saja terpenjara dalam kemiskinannya.

Hanya Iklan
  Apa yang dihasilkan demokrasi kita? Banyak. Kesenjangan si Kaya dan si Miskin, koruptor, pembohongan, demonstrasi, konflik, dan sebagainya.
  Hanya itu?
 Jika demikian adanya, artinya demokrasi memang gagal membuktikan narasi besarnya. Pengamen, pengemis, pemulung, masih tetap langgeng dalam dunianya. Mereka tetap tidak berdaya menghadapi hidup yang makin hari makin mencekik leher mereka.
 Kesejahteraan? Ya … mereka hanya bisa mengintip dari jauh. Melihatnya dengan jelas saja sulit, apalagi menyentuhnya.
 Demokrasi hanya kata tanpa makna. Demokrasi hanya agung pada ranah teori, tapi nista pada tataran realitas. Semua hanya sekadar nama besar yang sama sekali tidak bermakna.
 Lalu dengan berat hati, kita harus mengatakan, bahwa kita tidak butuh apapun dari demokrasi.  Demokrasi hanya menjadi parasit dalam kehidupan kita. Demokrasi tak lebih dari sekadar iklan, yang menawarkan sejuta harapan, tapi tidak mampu menunjukkan manfaat. Demokrasi memang perlu di gugat.

PERKEMBANGAN ILMU POLITIK SEBAGAI SUATU DISIPLIN


Menurut Varma ilmu politik merupakan salah satu ilmu tertua dari berbagai cabang ilmu yang ada, tentunya bila hal ini ditinjau sebagai sebuah pembahasan secara rasional dari berbagai aspek negara dan kehidupan politik, sedangkan Miriam Budiardjo menjelaskan apabila ilmu politik dipandang semata-mata sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memiliki dasar, rangka, fokus dan ruang lingkup yang jelas maka dapat dikatakan bahwa ilmu politik masih muda usianya karena baru lahir pada akhir abad ke-19.[1] Sampai abad ini ilmu politik sebagai salah satu disiplin dari ilmu-imu sosial telah mengalami perkembangan yang sangat pesat sejak kelahirannya, maka apabila kita tinjau dari buku Varma tentang sejarah perkembangan ilmu politik beliau membagi perkembangan ilmu politik pada tiga periode yaitu, periode tradisional, behavioralisme (pendekatan perilaku) dan post behavioralisme (pendekatan pasca perilaku), dari ketiga periode tersebut Varma menjelaksan ciri-ciri, ruang lingkup serta objek kajiannya.
            Pada periode klasik ilmu politik memusatkan perhatiannya kepada masalah negara ideal, para pemikir politik abad pertengahan ini melibatkan diri mereka pada pengembangan suatu kerangka bagi adanya kerajaan Tuhan di dunia, sedangkan para pemikir politik pada zaman sesudahnya telah melibatkan diri mereka pada masalah-masalah lainya seperti kekuasaan, wewenang dan lain-lain. Tetapi pada masa selanjutnya, ilmu politik berfokus kepada masalah kelembagaan dan pendekatan yang digunakan semakin luas. Pendekatan yang digunakan pada saat itu bersifat historis dalam pengertian bahwa para pemikir politik lebih memusatkan perhatianya pada upaya melacak serta menggambarkan berbagai fenomena politik yang ada, atau pada perkembangan lembaga-lembaga politik yang bersifat khusus. Jadi pada periode ini (periode tradisional) menurut Varma penekanan utama objek kajian ilmu politik menitikberatkan pada pendekatan kelembagaan dan aspek kesejarahan, walaupun terkadang para pemikir ilmu politik ini juga mencoba juga menganalisis konsep-konsep seperti : negara, hak-hak, keadilan dan tentang cara kerja pemerintahan, tetap kita akan sulit membedakan antara ilmu politik dan ilmu sejarah pada periode ini. Saat itu ilmu politik masih merupakan sebuah disiplin ilmu sosial yang hanya dapat dipelajari di perpustakaan atau ruang-ruang belajar dari pada pembelajaran di lapangan, di mana interaksi-interaksi politik sebenarnya terjadi disana.  
            Kencenderungan ilmu politik menggunakan analisa sejarah terus berlanjut, sampai kemudian pendekatan sejarah ini ditambah dengan perspektif normatif, sehingga para penulis politik mulai membahas teori perbandingan pemerintahan dengan meneliti kekurangan dan kelebihan dari berbagai lembaga politik, misalnya penelitian perbandingan sistem presidensil dan parlementer, sistem pemilihan distrik dan proporsional serta negara kesatuan dan negara federal. Tetapi penambahan perspektif baru pada penelitian ilmu politik tidak membawa perubahan yang fundamental bagi perkembangan ilmu politik. Pada perkembangan selanjutnya pendekatan ilmu politik ditambahkan lagi dengan pendekatan yang bersifat taksonomi deskriptif, di mana ada suatu penekanan yang begitu besar pada pengumpulan dan penggolongan fakta-fakta tentang lembaga-lembaga serta proses-proses politik. Pendekatan-pendekatan yang dilakukan dalam ilmu politik tradisional sebagaimana digambarkan yaitu bersifat analisisa historis, legal kelembagaan, normatif perspektif dan taksonomi deskriptif, tidak begitu eksklusif satu sama lain dan kadang-kadang objek penelitian mereka saling bertemu satu-sama lain. Terlepas dari beberapa kekurangan pendekatan penelitian ilmu politik dalam kerangka tradisional, para ilmuwan politik pada masa itu menurut Varma telah mengembangkan pengetahuan yang lebih luas tentang cara kerja berbagai lembaga politik, dari pada apa yang dilakukan pada beberapa abad sebelumnya. Mereka telah berhasil menyelidiki dimana kekuasaan terletak dalam suatu masyarakat serta bagaimana proses operasional kekuasaan tersebut di dalam sebuah institusi lembaga pemerintahan.
            Menurut Varma penekanan metodelogi penelitian pada struktur-struktur lembaga politik formal oleh para ilmuwan politik tradisional, secara perlahan mulai membuka jalan baru bagi penelitian ilmu politik yang lebih terarah, sehingga ruang lingkup ilmu politik tidak lagi terbatas pada filsafat politik dan deskripsi kelembagaan saja. Terdapat suatu kecenderungan yang lebih besar dalam meneliti lembaga atau organisasi politik menggunakan metodelogi yang bersifat empiris. Bahkan ada keinginan untuk lebih memanfaatkan disiplin ilmu lain sebagai alat bantu analisa politik, seperti pemakaian metode kuntitatif dan penggunaan peralatan riset untuk mengumpulkan dan mengolah data-data politik yang ditemukan. Perkembangan ini menurut Varma terjadi bukan sepenuhnya jasa dari kaum behavioralis, sebelum pendekatan perilaku menjadi kiblat pendekatan penelitian politik, para ilmuwan politik sudah mempunyai keinginan ilmu politik menjadi subjek yang bersifat interdisipliner. Walaupun kemudian penelitian politik yang dihasilkan oleh para ilmuwan politik ini dapat dianggap sangat akurat dengan peralatan riset yang sangat primitif, tapi bagi Varma perkembangan tersebut belum menunjukan bahwa ilmu politik mampu menjangkau metode pengumpulan, pengelolaan serta analisa data yang canggih dan teliti. Oleh karena itu ketidakpuasan terhadap keadaan ilmu politik benar-benar tidak dapat dihindari. Ketidakpuasan ini menyebabkan keresahan serta tuntutan supaya ilmu politik membutuhkan unit analisa, metode, teknik, dan teori sistematis yang baru, terlebih pada masa perang dunia kedua ada kesan disiplin ilmu politik tidak diakui oleh pemerintah Amerika Serikat terbukti dengan tidak dilibatkanya para ilmuwan politik dalam proses pengambilan sebuah keputusan, berbeda dengan para ilmuwan sosial dari disiplin ilmu ekonomi, ilmu sosiologi dan antropologi, mereka mampu memberikan peranan pada setiap pembuatan kebijakan pemerintah. Ada juga pendapat yang menjelaskan bahwa lembaga-lembaga politik tidak lagi dianggap sebagai unit-unit dasar analisa dan penelitian, sehingga penelitian lebih dititik beratkan ke arah perilaku individu-individu  dalam situasi-situasi politik, kedua hal tersebut menjadi faktor pendorong lahirnya pendekatan perilaku (behavioral approach).
            Pendekatan perilaku dalam ilmu politik menurut David E Apter[2] menggunakan paradigma ilmu pengetahuan alam yang dihubungkan dengan doktrin positivisme Saint Simon yang menekankan metode-metode ilmiah. Positivisme[3] merupakan perkembangan lebih lanjut dari aliran empirisme yang didukung oleh para filosof Inggris seperti Locke, Berkeley dan Hume. Empirisme seperti yang kita ketahui bersama meyakini bahwa realitas adalah sesuatu yang hadir melalui data sensoris, dengan kata lain pengetahuan kita harus berawal dari verifikasi empirik dengan mengatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu positif atau sains (ilmu-ilmu yang berangkat dari fakta-fakta yang terverifikasi dan terukur secara ketat). Kemunculan positivisme ini tidak dapat dilepaskan dari iklim kultur saat itu yang memungkinkan berkembangnya gerakan untuk menerapkan cara kerja sains dalam berbagai bidang kehidupan manusia. Sehingga positivisme menurut Donny Gahral Adian[4], menjadi sebuah dogma epistemik dengan mengklaim bahwa ilmu pengetahuan haruslah mengikuti doktrin unified science apabila ingin disebut ilmu pengetahuan ilmiah bukan semata-mata pengetahuan sehari-hari praktis eksistensial. Menurutnya positivisme memiliki beberapa ciri yang antara lain : (1) Objektif / bebas nilai, dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan realitas dengan bersikap bebas nilai, (2) fenomenalisme : tesis bahwa realitas terdiri dari  impresi-impresi, ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas berupa impresi-impresi tersebut, (3) reduksionisme : realitas direduksi menjadi fakta-fakta yang dapat diamati, (4) Mekanisme : tesis bahwa semua gejala dapat dijelaskan dengan prinsip-prinsip sistem-sistem mekanis.
Para ilmuwan politik ini kemudian berusaha menjadikan disiplin ilmu politik menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah dan sistematis, sehingga bisa disejajarkan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain (baik ilmu sosial dan ilmu alam), salah satu caranya dengan menggunakan logika positivisme seperti yang dijelaskan diatas sebagai metode penelitian untuk memahami realitas politik yang terjadi di masyarakat. Mereka berargumen bahwa penelitian di bidang politik harus mempunyai relevansi langsung dengan kenyataan politik praktis yang ada. Beberapa ilmuwan politik seperti Charles Beard, AL Lowell dan Arthur Bentley memainkan peranan yang sangat penting dalam upaya memperluas ruang lingkup ilmu politik ini dengan penggunaan metode teknik statistik, sedangkan Arthur Bentley memberikan sumbangan dua gagasanya untuk pendekatan perilaku yaitu gagasan kelompok dan konsep tentang proses. Selain ketiga ilmuwan politik tersebut perkembangan pendekatan perilaku menganal Charles Merriam, sumbangan Charles Merriam dalam perkembangan pendekatan perilaku dalam ilmu politik adalah : (1) Ia berkeinginan penelitian-penelitian di bidang politik benar-benar memanfaatkan kemajuan inteligensia manusia yang telah di bawa ke dunia oleh ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu alam dan mendorong adanya penelitian yang bersifat kooperatif dan kolaboratif, (2)  ia berpendapat bahwa pendekatan disiplin sejarah tidak relevan digunakan sebagai salah satu pendekatan yang digunakan dalam ilmu politik, dengan alasan pendekatan historis mengabaikan faktor-faktor psikologis, sosial dan ekonomi.   
Pendekatan perilaku mencapai puncak perkembangnya setelah perang dunia kedua, ilmu politik tidak lagi dianggap sebagai ilmu pengetahuan kelas dua, perkembangan ini tentunya tidak lepas dari dukungan berbagai organisasi penderma (donatur) seperti Carnegie, Rockefeller dan Ford yang memberikan dana bagi penelitian-penelitian perilaku, tanpa dukungan organisasi-organisasi ini, penelitian perilaku yang banyak memakan biaya tidak akan pernah berkembang dengan baik hingga saat ini.
Menurut Varma mengutip pendapat Waldo perkembangan pendekatan perilaku dalam ilmu politik selain mengandung sisi positif juga mengandung sisi negatif, sisi positif perkembangan pendekatan perilaku bagi ilmu politik diantaranya mendorong ilmu politik menggunakan metode-metode cabang ilmu sosial dan ilmu alam yang telah lebih dulu maju dalam metode penelitian dan riset, sehingga pendekatan penelitian yang digunakan ilmu politik bisa lebih komprehensif untuk menjelaskan banyak fenomena politik yang terjadi, apalagi dengan menerapkan sebanyak mungkin logika matematis khususnya metode statistik kuantitatif dalam pendekatan perilaku bisa mencapai generalisasi yang lebih tinggi yang mampu menerangkan banyak fenomena dengan lebih jelas. Sedangkan sisi negatifnya pendekatan perilaku menentang analisa kelembagaan serta menentang upaya melibatkan ilmu politik dengan masalah-masalah moral dan etika serta menghindari pemihakan ilmuwan dalam penelitianya.
Sisi negatif dari pendekatan perilaku ini kemudian menjadi embrio ketidakpuasan beberapa kalangan yang memunculkan pendekatan baru dalam ilmu politik yang disebut pendekatan pasca perilaku (post behavioral approach). Pendekatan pasca perilaku sangat dipengaruhi oleh aliran kiri baru yang menjadi sebuah fenomena politik era tahun 1960an di Amerika Serikat serta beberapa negara Eropa saat itu. Istiah kiri baru[5] pertama kali digunakan oleh kelompok Marxis liberal yang berpusat di sekitar New left Review , istilah itu kemudian digunakan oleh gerakan mahasiswa dunia. Pemikiran kaum kiri baru ini sangat dipengaruhi oleh para intelektual Frankfurt di Jerman, mereka membudayakan aliran sosial kritis yang bersifat emansipatoris, teori emansipatoris menurut mereka harus memenuhi tiga syarat : (1) bersikap kritis dan selalu curiga terhadap zamanya, (2) berpikir secara historis, berpijak pada masyarakat dalam prosesnya yang historis (3) tidak memisahkan teori dan praksis, tidak melepaskan fakta dari nilai. Teori kritis senantiasa menolak logika pengetahuan yang dikembangkan oleh aliran positivisme, menurut mereka positivisme hanya merekontruksi hukum-hukum kausal yang bekerja dalam suatu tatanan masyarakat yang bisa diverifikasi melalui empirical test, sehingga “membutakan” para ilmuwan sosial bahwasanya perilaku manusia tidak bisa dipandang sebagai manifestasi suatu tata kausalitas, perilaku manusia lebih menampilkan simbol yang berarti terhadap makna yang mendasarinya. Selain itu positivisme membimbing pelaku sejarah dan ilmuwan sosial pada total pasitivity, kriteria bebas nilai yang diajukan membuat ilmuwan tidak mampu melihat sesuatu yang salah dalam masyarakat, tugas seorang ilmuwan hanya memaparkan, mendeskripsikan realitas sedetil-detilnya lewat fakta-fakta yang terukur sehingga proses-proses sosial yang sifatnya melampaui fakta-fakta yang terukur menjadi tertutupi. Realitas yang dideskripsikanya adalah realitas statis dengan hukum-hukum objektif, sedangkan realitas sesungguhnya adalah realitas yang penuh dinamika.[6]  Pengaruh teori kritis berimbas juga pada perkembangan ilmu politik selanjutnya, banyak para ilmuwan politik dan sosial mempertanyakan kembali pendekatan perilaku dalam menjelaskan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat, serangkaian pertemuan digelar oleh Asosiasi Ilmu Politik Amerika (APSA) merespon ketidakpuasan pendekatan perilaku selama ini, terlebih-lebih suatu forum rapat (Caucus) pada tahun 1969 telah mengeluarkan manifestonya, bahwa dibutuhkan pendekatan ilmu politik baru yang diarahkan untuk melayani rakyat miskin, tertindas dan terbelakang, baik dalam negara mereka sendiri maupun di luar negara, dalam perjuanganya melawan hirarki-hirarki, kelompok elit serta bentuk-bentuk manipulasi kelembagaan yang telah mapan.
Munculnya pendekatan pasca perilaku ini dalam ilmu politik merupakam sebuah antitesa terhadap kemapanan logika positivisme yang dikembangkan dalam pendekatan perilaku, pendekatan ini menitikberatkan supaya para ilmuwan politik mampu memahami masalah sosial dan politik yang terjadi dengan memberikan sumbangan pemikiran bagi pemecahanya. Secara garis besar dalam bukunya Varma menjelaskan dua tuntutan utama pendekatan pasca perilaku yaitu relevansi dan tindakan, termasuk ada tujuh karakter yang dimiliki oleh kaum pendekatan pasca perilaku. Ketujuh karakter tersebut adalah :
1.      Dalam penelitian politik subtansi harus mendahului teknik artinya bahwa setiap penelitian politik yang akan dilaksankan terlebih dahulu harus memiliki tujuan untuk memecahkan permasalahan sosial politik yang terjadi.
2.      Perubahan sosial harus menjadi penekanan yang utama pada pendekatan ilmu politik, nilai social transformation menjadi kebutuhan utama dari pada social preservation.
3.      Ilmu politik tidak boleh melepaskan dirinya dari realitas sosial.
4.      Ilmu politik jangan melepaskan dirinya dari sistem nilai.
5.      Tugas utama ilmuwan ialah mempunyai peranan yang harus dimainkan dalam masyarakat serta melindungi peradaban nilai-nilai kemanusiaan.
6.      Ilmu pengetahuan khususnya ilmu politik memiliki komitmen untuk bertindak. Ilmu politik bagi mereka harus menggantikan ilmu yang bersifat kontemplatif.
7.      Kaum intelektual memiliki peranan positif dalam masyarakat dan peranan ini menentukan tujuan yang pantas bagi masyarakat serta membuat masyarakat bergerak sesuai dengan tujuan itu.
ANALISA PERKEMBANGAN ILMU POLITIK SEBAGAI SUATU DISIPLIN
Membaca perkembangan ilmu politik yang ditulis Varma dalam bukunya membuat kita mengerti tentang sejarah tahapan-tahapan perkembangan ilmu politik, dari tahapan ilmu politik yang menggunakan pendekatan tradisional, perilaku dan pasca perilaku. Dinamika perkembangan ilmu politik tersebut tidak bisa dilepaskan dari konstruksi serta relevansi sosial yang terjadi saat itu, menurut penulis pendekatan ketiganya merupakan bentuk responsif ilmu politik terhadap perubahan serta dinamika yang terjadi di masyarakat. Pendekatan perilaku muncul karena desakan situasi dan kondisi saat itu di Amerika Serikat supaya ilmu politik bisa disejajarkan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainya, sehingga kebutuhan akan unit analisa komprehensif yang mencakup logika matematis, statistik kuantitatif, psikologi, sosiologi dan beberapa metodelogi ilmu alam sangat dibutuhkan. Unit analisa tersebut tentu saja tidak cukup memberikan kepastian ilmu politik bisa diakui sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah dan sistematis. Ilmu politik harus bisa merubah dirinya menjadi ilmu pengetahuan yang sesuai dengan logika positivisme, sebuah logika yang diciptakan untuk menempatkan ilmu pengetahuan dalam wilayah objektifitas, netralitas dan bebas nilai, karena ilmu sosial pada umumnya termasuk didalamnya ilmu politik sangat rentan dengan unsur-unsur subjektifisme.
Menurut penulis penggunaan logika positivisme dalam ilmu politik membuat para ilmuwan politik bisa terjebak menjadi pemberi “legitimasi” suatu kebenaran dengan memberikan parameter-parameter keilmiahan pada sebuah fenomena sosial politik yang terjadi di masyarakat, padahal tidak semua realitas dapat dideskripsikan menjadi fakta-fakta yang terukur, karena realitas sejatinya adalah realitas yang penuh dinamika yang terkadang tertutupi serta melampaui fakta yang bisa diukur dengan logika matematis. Dengan logika positivisme yang terdapat dalam pendekatan perilaku terkadang membuat para ilmuwan politik juga harus menjaga “netralitas” ketika melihat permasalahan sosial yang terjadi, karena dengan keterlibatan emosi serta nilai yang dianut seorang ilmuwan politik dalam melakukan pembacaan suatu fenomena bisa mempengaruhi derajat keilmiahan penelitianya. Terlepas kekurangan yang dimiliki pendekatan perilaku, kita harus berterimakasih kepada para tokohnya, karena dengan pendekatanya ini ilmu politik bisa disejajarkan dengan ilmu pengetahuan lainya dan tidak lagi dianggap ilmu kelas dua.
Dalam bukunya Varma menjelaskan bahwa pendekatan pasca perilaku yang dipengaruhi oleh kalangan kiri baru muncul sebagai kritik atas behavioralisme yang dianggap tidak bisa melayani kaum miskin yang tertindas dan terbelakang, pendekatan baru ini ingin menjawab permasalahan sosial yang pada saat itu (situasi di Amerika serta belahan dunia lainya) diliputi ketidakpastian dengan munculnya gerakan-gerakan sosial yang menuntut hak-hak sipil, kekurangan Varma dalam bukunya tersebut tidak menyebutkan secara detail tokoh yang merintis pendekatan kritis dalam ilmu politik, ini sangat berbeda dengan uraianya ketika menjelaskan periode tradisional dan pendekatan perilaku, ia secara lengkap mengulas para tokoh-tokohnya. Ia hanya menjelaskan secara generialisasi pokok-pokok pemikiran pendekatan pasca perilaku. Berdasarkan analisa penulis ketika menelusuri genealogi teori kritis yang menjadi paradigma kalangan pasca perilaku dari beberapa literatur, dapat dijelaskan bahwa teori ini muncul dengan dimensi ideologi yang sangat kuat, sebelum kelahiran para intelektual Mazhab Frankfurt yang senantiasa mengembangkan budaya kritis terhadap ilmu pengetahuan, para pemikir marxis seperti Antonio Gramsci dan Karl Korsch menjadi peletak pertama yang mengilhami para intelektual Frankfurt,[7] mereka melakukan kritik terhadap objektifikasi ajaran-ajaran Karl Marx sebagai sebuah ideologi di negara Uni Soviet, sehingga penafsiran negara terhadap marxisme cenderung kearah positivisme. Sikap kritis Gramsci dan Korsch terhadap pembakuan ideologi marxisme ini, kemudian menjadi dasar teorisasi kritis intelektual Frankfurt ketika memandang semua realitas sosial politik yang terjadi, sikap kritis mereka tidak hanya ditunjukan pada metodelogi pengetahuan marxisme saja, fenomena non marxispun menjadi sebuah objek kajian yang cukup menarik juga bagi mereka.
Pendekatan pasca perilaku menggunakan metode penelitian pastisipatoris, yaitu suatu jenis penelitian kombinasi antara penelitian sosial, kerja sosial, kerja pendidikan dan aksi politik[8], dari definisi tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa pendekatan pasca perilaku lebih menitikberatkan pada fungsi penelitian sebagai alat perubahan sosial, sehingga objektifikasi keilmiahan suatu pengetahuan dinilai oleh sebagian ilmuwan kurang diperhatikan, ilmu politik bagi mereka adalah sebuah metode aksi untuk merubah tatanan yang mapan menuju tatanan sosial yang diidealkan oleh para ilmuwan sosial. Paradigma transformatif yang menjadi pondasi pendekatan pasca perilaku merupakan jawaban ilmuwan politik terhadap realitas masyarakat saat itu yang ternyata masih belum bisa menikmati hak-hak sosialnya ketika berhadapan dengan sistem politik represif, ilmu politik ingin menjawab problematika tersebut dengan melakukan perubahan revolusioner unit analisisnya. Terlepas dari kekuranganya pendekatan ini, selain telah membawa ilmu politik sebagai ilmu yang ilmiah juga menjadi sebuah ilmu yang solutif bagi permasalahan sosial yang muncul dimasyarakat.


[1] Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik (edisi revisi). (Jakarta : PT Gramedia Pustaka  2009) Hal 5
[2] David E. Apter, Pengantar Analisa Politik. (Jakarta: CV.Rajawali & Yasogama. 1988) Hal 333.
[3]Donny Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer : Atheisme, Positivieme Logis, Neo Marxisme, Posmodernisme dan Post Ideology Syndrome. (Yogyakrata : Jalasutra, 2001) Hal 30
[4] Donny Gahral Adian Hal 36
[5] Lyman Tower Sargent, Ideologi Politik Kontemporer. (Jakarta : PT. Bina Aksara, 19986) Hal 228
[6] Donny Gahral Adian Hal 66-68.

[7] Franz Magnis Suseno, Dalam Bayangan Lenin : Enam Pemikir Marxisme Dari Lenin Sampai Tan Malaka. (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama, 2003).
[8] Mansour Fakih, Jalan Lain : Manifesto Intelektual Organik. (Yogyakarta : INSISTPress dan Pustaka Pelajar, 2002) Hal 52.