Politik merupakan
wilayah konsep dan praktis yang sangat luas. Sebagai sebuah konsep, politik
bisa berwujud suatu yang abstrak, namun terkadang bisa diukur dengan
kriteria-kriteria tertentu. Sebagai praktis, politik bisa terjadi di wilayah
yang kecil, misalnya di suatu desa, tetapi juga bisa terjadi di wilayah yang
besar, misalnya dalam suatu negara atau bahkan antar negara. Kesadaran politik
warga negara baru bisa dikategorisasikan sebagai memadai jika kesadaran itu tumbuh
dari pengetahuan dan pemahamannya yang cukup tentang konsep-konsep dasar
politik. Nalar politik, dengan demikian, sangat terkait dengan pemahaman
yang memadai tentang bekerjanya suatu teori politik sekaligus memahami
pengaruh-pengaruh langsung dari bekerjanya sistem tersebut terhadap diri dan
masyarakat pada umumnya.
(Harold D. Lasswell) politik adalah soal “siapa mendapatkan apa, kapan dan dengan cara
yang bagaimana”. Esensi politik adalah konflik. Karena politik adalah hal
mencari, mempertahankan dan memanfaatkan kekuasaan. Yang dimaksud dengan
hak-hak politik warga negara adalah mencakup :
- Hak memilih dalam pemilihan umum.
- Hak menyatakan pendapat dan berasosiasi.
- Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan
lembaga-lembaga negara yang menyimpang dari kewenangannya.
Kekuasaan adalah konsep yang
berhubungan erat dengan masalah pengaruh, persuasi, manipulasi, koersi,
kekuatan dan kewenangan. Kekuasaan juga bisa diartikan sebagai kemampuan
seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau
kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku orang atau kelompok lain
itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.
Hubungan Politik dan Kekuasaan
Secara umum dapat
dirumuskan bahwa politik adalah berbagai kegiatan dalam suatu sistem atau negara yang
menyangkut proses untuk menentukan tujuan bersama (negara) dan melaksanakan
tujuan itu. Untuk menentukan dan melaksanakan keputusan itu diperluakan
pengambilan keputusan (decision making) yang diwujudkan dalam
kebijakan-kebijakan umum (public policy) yang di dalamnya diatur pembagian
(distribusion) dari sumber-sumber (kekuasaan) yang ada.
Untuk melaksanakan
kebijakan-kebijakan itu diperlukan kekuasaan (power) dan kewenangan
(authority), yang akan dipakai baik untuk membangun kerja sama maupun untuk
menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara yang dipakai
bisa
dalam bentuk persuasi
(meyakinkan), dan kalau perlu paksaan (coersion). Politik selalu menyangkut
tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan-tujuan
pribadi seseorang (privat goals).
Pengaruh (influence) adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar
mengubah sikap atau perilakunya denga suka rela. Persuasi adalah kemampuan meyakinkan orang lain dengan
argumentasi untuk melakukan sesuatu.Manipulasi adalah penggunaan pengaruh di mana yang dipengaruhi tidak
mengetahui bahwa tingkah lakunya sebenarnya mematuhi keinginan pemegang
kekuasaan.
Dalam banyak kasus yang
terjadi, politik atau kekuasaan sering dipraktekkan sebagai arena atau alat
untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan. Sehingga tidak mengherankan kalau
politik atau kekuasaan sering bermakna “kotor” atau “menghalalkan segala cara”.
Dalam suatu sistem demokratis, politik atau kekuasaan mempunyai makna dan
dipraktekkan secara positif dan rasional. Dalam sistem ini politik/kekuasaan
adalah alat untuk menciptakan kesejahteraan umum dan mendukung proses-proses
sosial yang adil dan manusiawi. Seperti dikatakan M. Amien Rais, kekuasaan
hendaknya tidak menjadi tujuan dari partai politik, melainkan alat untuk
memulihkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara
keseluruhan.
Koersi adalah
ancaman paksaan yang dilakukan seseorang/kelompok terhadap pihak lain agar
sikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang memiliki kekuasaan.
Kekuatan (force) adalah penggunaan tekanan fisik kepada orang lain agar
melakukan sesuatu. Kewenangan (authority) adalah kekuasaan yang memiliki
kebasahan (legitimate power). Sedang kekuasaan tidak selalu memiliki
kewenangan. Sumber kewengan ada lima, yaitu :
- Tradisi atau kepercayaan
- Tuhan atau wahyu
- Kualitas pribadi sang pemimpin.
- Peraturan perundang-undangan
- Dan keahlian/kekayaan.
Legitimasi adalah penerimaan dan
pengakuan masyarakat terhadap kewenangan dan kekuasaan. Ada tiga cara
mendapatkan legitimasi, yaitu :
- Simbolis. Yaitu dengan memanipulasi kecendrungan moral,
emosional, tradisi, kepercayaan dan nilai-nilai budaya pada umumnya dalam
bentuk simbol.
- Prosedural. Yaitu dengan menjanjikan dan memberikan kesejahteraan
material pada masyarakat seperti menjamin tersedianya kebutuhan dasar
(basic needs), fasilitas kesehatan, pendidikan, sarana produksi pertanian,
dan lain-lain.
- Materiil. Yaitu dengan cara menyelenggarakan pemilihan umum untuk
menentukan wakil rakyat, presiden dan para anggota lembaga tinggi negara
atau referendum untuk mengesahkan suatu kebijakan umum.
Konflik adalah
perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan di antara sejumlah individu,
kelompok atau organisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan
sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah. Sebab
terjadinya konflik ialah adanya benturan kepentingan, baik yang bersifat
horisontal (antara masyarakat dengan masyarakat) maupun vertikal (masyarakat vs
pemerintah). Dilihat dari strukturnya, ada beberapa jenis konflik, yaitu :
- Konflik menang kalah (zero-sum
conflict). Adalah dimana situasi konflik yang bersifat
antagonistik (berlawanan), sehingga tidak memungkinkan tercapainya
kompromi di antara pihak-pihak yang berkonflik.
- Konflik menang-menang (non
zero-sum conflik). Adalah situasi konflik dimana pihak-pihak yang
berkonflik masih mungkin mengadakan suatu kompromi dan kerja sama sehingga
semua pihak aka mendapatkan bagian dari konflik itu.
Bentuk-bentuk pengaturan
konflik antara lain : konsiliasi, mediasi, arbitrasi, dan lain-lain. Konflik antar partai politik
diatur dengan cara :
- Dilakukan koalisi pemerintahan yang stabil di antara
partai-partai politik.
- Diterapkan prinsip proporsionalitas, yaitu posisi-posisi
pemerintahan yang penting didistribusikan kepada partai-partai politik
sesuai dengan proporsi jumlahnya dalam keseluruhan penduduk.
- Diterapkan sistem saling-veto, yaitu suatu keputusan
politik tidak akan diputuskan tanpa disetujui oleh semua partai politik
yang berkonflik.
PARTAI DAN PARTISIPASI POLITIK
(Carl Friedrich) Partai politik adalah kelompok manusia yang terorganisasikan
secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam
pemerintahan bagi pemimpin partai dan berdasarkan kekuasaan itu akan memberikan
kegunaan materiil dan idiil pada para anggotanya.
Macama-macam fungsi
partai politik, antara lain :
1. Sosialisasi Politik
Yaitu proses pembentukan
sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat.
2. Rekrutmen Politik.
yaitu seleksi dan
pemilihan serta pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan
sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada
khususnya.
3. Partisipasi Politik
Kegiatan warga negara
biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan
dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan.
4. Pemandu Kepentingan.
Yaitu kegiatan
menampung, menganalisis dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan
bertentangan menjadi beberapa alternatif kebijakan umum, kemudian diperjuangkan
dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
5. Komkunikasi
Politik
Yaitu proses penyampaian
informasi mengenai politik dari pemerintah kepada rakyat atau sebaliknya.
6. Pengendalian Konflik
Partai politik berfungsi
mengendalikan konflik melalui dialog dengan pihak-pihak yang berkonflik,
menampung dan memadukan berbagai aspirasi (cita-cita) dan kepentingan dan
membawa permasalahan ke dalam musyawarah badan perwakilan rakyat (DPR) untuk
mendapat penyelesaian berupa keputusan politik.
Platform partai politik adalah kebijakan atau program yang ditawarkan partai politik untuk
melaksanakan fungsinya sebagai tempat aspirasi anggotanya. Adapun faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku politik adalah :
- Lingkungan sosial politik tidak langsung, seperti
sistem politik, media massa, sistem budaya, dan lain-lain.
- Lingkungan politik langsung yang mempengaruhi dan
membentuk kepribadian aktor, seperti keluarga, teman, agama, kelas, dan
sebagainya.
- Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap
individu.
- Faktor sosial politik langsung berupa situasi, yaitu
keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan
sesuatu kegiata politik, seperti suasana kelompok, ancaman, dan lain-lain.
Faktor yang mempengaruhi
pemilih dalam memberikan suaranya kepada partai politik tertentu dapat
dibedakan menjadi empat sesuai dengan pendekatan yang digunakan, yaitu :
1. Pendekatan Struktural
Kegiatan memilih
merupakan produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur
sosial, sistem kepartaian, sistem pemilu, program yang ditonjolkan partai dan
lain-lain.
2. Pendekatan Sosiologis
Kegiata memilih sangat
dipengaruhi oleh konteks sosial, yaitu latar belakang demografis dan sosial
ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal (desa-kota), pekerjaan,
pendidikan, dan sebagainya.
3. Pendekatan Psikologi Sosial
Kegiatan memilih
dipengaruhi oleh identifikasi partai. Partai yang secara emosional dirasakan
sangat dekat dengan pemilih merupakan partai yang akan selalu dipilih tanpa
terpengaruh oleh faktor-faktor lain.
4. Pendekatan Pilihan Rasional
Kegiatan memilih sebagai
produk kalkulasi untung dan rugi.
Di dunia ini ada
beberapa negara yang tidak memiliki partai politik, diantaranyaArab Saudi, Berunai
Darussalam, dan lain-lain.
Tipologi partai politik dapat dibedakan dari faktor-faktor, yaitu :
- Faktor sumber-sumber dukungan partai.
- Faktor organisasi internal partai
- Faktor cara bertindak dan fungsi.
Dari faktor sumber
dukungan partai, tipologi partai politik dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
- Partai Komperhensif. Yaitu partai yang berorientasi pada pengikut
(clientele-orientied), yaitu partai yang berusaha mendapatkan suara
sebanyak mungkin dari setiap warga negara.
- Partai Sektarian. Yaitu partai yang memakai kelas, daerah (region),
agama, atau ideologi sebagai daya tariknya.
Dilihat dari organisasi
internal, partai politik dibedakan menjadi :
- Partai Tertutup. Yaitu partai dengan keanggotaan terbatas atau partai
yang mengenakan kualifikasi (persyaratan) yang ketat untuk anggotanya.
- Partai Terbuka. Yaitu partai yang membolehkan setiap orang menjadi
anggota dan mengenakan persyaratan yang sangat ringan atau tidak ada sama
sekali bagi keanggotaannya.
Dari cara bertindak dan
fungsinya, partai politik dapat dibedakan menjadi :
- Partai Khusus (Specialized). Yaitu partai yang menekankan keterwakilan
(representatif), agregasi (pengumpulan), pertimbangan dan perumusan
kebijakan, partisipasi serta kontrol pemerintah untuk maksud-maksud
terbatas dan untuk suatu periode waktu tertentu.
- Partai Menyebar (Difussed). Yaitu partai yang menekankan integrasi, pengawasan
permanen dan total, mobilisasi dan pembangunan institusi.
Sistem kepartaian
bersifat integratif bilamana partai yang ada bersifat sektarian dalam
menekankan penolakan simbol-simbol aksi politik, tertutup dan menyebar. Sistem
kepartaian bersifat kompetitif bilamana partai tersebut komperhensif, dimana
organisasi partai bersifat terbuka dan fungsi-fungsinya terspesialisasikan.
Sistem partai integratif cendrung menjadi sistem partai tunggal, sedang sistem
kepartaian kompetitif cendrung untuk mempunyai sedikitnya dua partai atau
lebih.
Dari segi jumlah partai
yang ada, partai politik dapat dibekan menjadi :
- Sistem partai tunggal
- Sistem dwi partai
- Dan sistem multi partai
Partisipasi Politik
Partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan keputusan
yang menyangkut dan mempengaruhi hidupnya. Asumsi yang mendasari partisipasi
politik adalah orang yang paling tahu tentan kebutuhan dan apa yang baik bagi
dirinya adalah orang itu sendiri. Ada beberapa macam bentuk partisipasi
politik, yaitu :
- Partisipasi aktif. Yaitu kegiatan mengajukan usul mengenai suatu
kebijakan, mengajukan kritik terhadap suatu kebijakan, membayar pajak dan
memilih pemimpin atau pemerintahan.
- Partisipasi pasif. Yaitu kegiatan yang mentaati pemerintah, menerima dan
melaksanakan apa saja yang diputuskan pemerintah.
- 3. Golongan
Putih (GOLPUT).
- Partisipasi politik otonom. Yaitu suatu model pertisipasi politik yang dicirikan
berkembangnya inisiatif mandiri dari rakyat untuk berpartisipasi dalam
politk dan pemerintahan.
- Partisipasi politik yang
dimobilisasi.
Hambatan bagi
partisipasi politik otonom, yaitu :
- Hambatan struktural, yaitu kecendrungan pada negara untuk melakukan
regulasi politk secara ketat agar kepentingan negara teramankan.
- Hambatan kultural, yaitu tingkat pengetahuan, kesadaran dan kecerdasan
politik rakyat yang belum memadai.
Contoh atau model
partisipasi politik masyarakat antara lain :
- Kegiatan warga negara untuk mengikuti pemilihan umum.
- Lobi, yaitu usaha perorangan atau kelompok untuk
mempengaruhi proses pengambilan keputusan.
- Kegiatan berorganisasi yang tujuannya adalah untuk
mempengaruhi pengambilan keputusan.
- Tindakan kekerasan juga bisa merupakan suatu bentuk
partisipasi.
Faktor yang mempengaruhi
tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik adalah kesadaran politik dan
kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik).
PEMILIHAN UMUM
Pemilihan Umum (PEMILU) adalah pemberian suara oleh rakyat melalui pencoblosan tanda gambar
untuk memilih wakil-wakil rakyat atau anggota DPR. Makna hak pilih adalah hak
setiap warga negara untuk mengikuti pemilu atau mencoblos tanda gambar dalam
pemungutan suara. Setiap warga negara yang pada waktu pemilu sudah berusia 17
tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Fungsi pemilihan umum
adalah mengatur prosedur seseorang untuk dipilih menjadi anggota badan
perwakilan rakyat (DPR) atau kepala pemerintahan.
Ada beberapa tujuan
pemilihan umum, yaitu :
- Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin
pemerintahan dan alternatif kebijakan umum.
- Mekanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari
masyarakat kepada badan perwakilan rakyat sehingga integrasi masyarakat
tetap terjamin.
- Sarana memobilisasikan atau menggalang dukungan rakyat
terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses
politik.
Ada dua macam
pelaksanaan sistem pemilu, yaitu :
- Pemilu Sistem Distrik.
Sistem pemilihan di mana
wilayah suatu negara yang menyelenggarakan pemilu menentukan distrik-distrik pemilihan
yang jumlanya sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan atau tersedia di
parlemen (DPR). Tiap distrik hanya memilih seorang wakil untuk mewakili distrik
bersangkutan di DPR. Calon terpilih adalah calon yang memperoleh suara
terbanyak di distrik itu. Dalam sistem ini yang dipilih bukan partai, tetapi si
calon. Sistem distrik umumnya lebih sesuai dengan sistem dua partai agara suara
yang hilang tidak terlalu banyak.
2. Pemilu Sistem
Proporsional
Sistem pemilihan di mana
wilayah suatu negara dibagi atas daerah-daerah pemilihan dan kepada
daerah-daerah ini dibagikan sejumlah kursi yang diambil dari kursi yang
tersedia di parlemen untuk diperebutkan dalam pemilihan umum di daerah
tersebut. Pembagian kursi didasarkan pada faktor imbangan jumlah penduduk.
Kursi-kursi tersebut dibagikan kepada partai politik peserta pemilu sesuai
dengan imbangan yang diperoleh masing-masing partai dalam pemilu. Misalnya
400.000 suara satu kursi, maka setiap partai akan mendapat satu kursi jiak bisa
mencapai jumlah tersebut, sehingga wakil dari satu daerah pemilihan untuk
anggota DPR lebih dari satu orang. Dalam sistem ini yang dipilih adalahh tanda
gambar, bukan calon.
Dalam sistem pemilu
proporsional yang ditonjolkan atau yang diutamakan adalah partai-partai politik
(orsospol) peserta pemilu yang dikampanyekan adalah program atau ideologi
orsospol tersebut. Pimpinan orsospol berkuasa penuh menentukan calon-calonnya
dalam suatu pemilu, demikian juga urutannya. Karen itu dapat dipastikan bahwa
loyalitas para calon sangat tinggi terhadap orsospolnya.
Sistem proporsional
dapat dilaksanakan dalam beberapa model, yaitu;
- single tranferrable vote, di mana calon terpilih didasarkan “urutan keutamaan”.
Bila suara untuk satu calon sudah terpenuhi, maka kelebihannya akan
ditransfer pada urutan berikutnya dan seterusnya.
- stelsel daftar (lis stelsel). Dalam daftar (lis) dicantumkan para calon dari
masing-masing peserta pemilu. Cara ini dikembangkan dengan dua pilihan.
Pertama, kepada para pemilih diberikan kesempatan untuk memilih tanda
gambar kedua, para pemilih diberi kesempatan untuk memilih gambar atau
nama calon yang terdaftar.
Keunggulan sistem
distrik, yaitu :
- karena kecilnya distrik, maka wakil terpilih dapat
dikenal oleh penduduk distrik. Sehingga hubungannya dengan penduduk distrik
lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan
kepentingan distrik. Lagipula kedudukannya terhadap partainya akan lebih
bebas, oleh karen dalam pemilihan semacam ini faktor personalitas dan
kepribadian seseorang merupakan faktor terpenting untuk dapat terpilih.
- Sistem distrik mendorong ke arah integrasi atau aliansi
partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik
pemilihan hannya satu. Hal ini mendorong partai-partai kecil
mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama.
Sistem distrik akan mendorong penyederhanaan partai-partai tanpa
pelaksana.
- Berkurangnya partai dan meningkatnya kerja sama antar
partai-partai, mempermudah terbentuknya sistem politik yang stabil dan
meningkatkan stabilitas nasional.
- Sistem ini sederhana dan mudah untuk dilaksanakan.
Kelemahan sistem
distrik, yaitu :
- Sistem ini kurang memperhatikan adanya partai-partai
kecil dan golongan minoritas, apalagi bila golongan-golongan ini terpencar
dalam berbagai distrik.
- Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon
yang kalah dalam suatu distrik kehilangan suara-suara yang telah
mendukungnya. Hal ini berarti ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan
sama sekali.
Keunggulan sistem
proporsional, yaitu :
- Sistem ini dianggap representatif oleh karena jumlah
wakil orsospol terpilih dalam suatu pemilu sesuai dengan imbangan jumlah
suara yang diperolehnya.
- Sistem ini dianggap lebih adil, karena semua golongan
dalam masyarakat mempunyai peluang untuk memperoleh wakil di parlemen.
Kelemahan sistem
proporsional, yaitu :
- Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya
partai-partai baru. Sistem ini tidak menjurus ke arah integrasi
bermacam-macam golongan dalam masyarakat. Mereka lebih cendrung untuk
mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong untuk
mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Karen itu, sistem ini kurang
mendorong partai-partai untuk bekerja sama apalagi berintegrasi. Partai
yang bersaing menyulitkan munculnya mayoritas sederhana apalagi absolut
dalam suatu pemilu.
- Sistem ini memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan
orsospol dalam penentuan calon-calonnya.
- Organisasi dan biaya sistem ini agak besar.
Dalam sistem distrik
dikenal hak recall. Tetapi bila hak recall digunakan, maka pada distrik pemilihan
yang wakilnya di – recall, diadakan pemilihan ulang. Jadi kalau digunakan hak
recall, maka ada kemungkinan wakil dari distrik tersebut dapat terganti dengan
calon dari partai lain.
Kampanye pemilu adalah kegiatan partai politik yang menghadirkan massa di mana
juru kampanye menyampaikan program partai politik dan massa mendengarkan atau
menanyakan tentang program-program itu. Juru kampanyeadalah orang yang bertugas menyampaiakan program
partai politik baik melalui ceramah, diskusi atau forum yang lain.
Syarat-syarat pemilu
yang demokratis, yaitu :
- ada pengakuan terhadap hak pilih universal. Semua warga
negara, tanpa pengecualian yang bersifar politis dan ideologis,
diberi hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu.
- Ada keleluasaan untuk membentuk “tempat penampungan”
bagi pluralitas aspirasi masyarakat pemilih. Masyarakat memiliki
alternatif pilihan saluran aspirasi politik yang leluasa. Pembatasan
jumlah kontestan atau organisasi peserta pemilu (OPP) – yang hanya mempertimbangkan
alasan yuridis – formal dengan menafikan perkembangan real aspirasi
masyarakat – adalah sebuah penyelewengan dari prinsip ini.
- Tersedia mekanisme rekrutmen politik bagi calon-calon
wakil rakyat yang demokratis. Harus ada sebuah mekanisme pemilihan calon
wakil rakyat yang tidak top down (diturunkan oleh elite partai dan
penguasa, dari atas), melainkan bottom up (berdasarkan inisiatif mandiri
dan aspirasi dari bawah). Praktek dropping calon wakil rakyat yang
berjalan di Indonesia selama ini adalah sebuah kekeliruan. Seusai
pemilihan di tingkat internal partai, seyogiyanya tidak ada mekanisme
eksternal – partai yang dapat membatalkan – keputusan demokratis yang
telah dibuat di dalam partai.Pemerintah, misalnya,
selayaknya tidak diberik kekuasaan birokratis untuk melakukan seleksi
akhir atas nama calon wakil rakyat yang diajukan partai.
- Ada kebebasan bagi pemilih untuk mendiskusikan dan
menentukan pilihan. Masyarakat pemilih – pada semua lapisan – kurang
diberi keleluasaan untuk tahu figur-figur yang harus mereka piliih,
seberapa dekat aspirasi politik sang calon legislator itu dengan aspirasi
politk mereka, dan mendiskusikan semua itu secara demokratis. Tentu saja,
keleluasaan-keleluasaan itu harus dilengkapi dengan keleluasaan lain :
kekuasaan menentukan pilihan. Tanpa keleluasaan-keleluasaan tersebut
sebuah prosesi pemilu dapat menjebak masyarakat pemilih untuk “membeli
kucing dalam karung”. Bahkan, potensial mengubah pemilu sebagai sebuah
“pesta demokrasi” menjadi “pesta mobilisasi”.
- Ada komite atau panitia pemilihan yang independen.
Sebuah pemilu yang sehat membutuhkan sebuah komite yang tidak memihak :
komite yang tidak berpretensi untuk merekayasa akhir pemilu.
- Ada keleluasaan bagi setiap kontestan untuk
berkompetisi secara sehat. Peluang kompetisi ini tentu saja mesti
diberikan mulai dari prolog sebuah pemilu (penggalangan massa serta
pemassalan ideologi dan program partai), dalam tahap rekrutmen dan
penyeleksian calon anggota legislatif, hingga ke tahap kampanye dan
tahap-tahap berikutnya.
- Penghitungan suara yang jujur. Adalah percuma memenuhi
semua persyaratan di atas, manakala pada akhirnya tidak ada penghitungan
suara yang jujur – dalam arti faktual dan transparan.
- Netralitas birokrasi. Dalam praktek sistem politik
manapun, prosesi pemilu tidak bisa melepaskan diri dari peran birokrasi.
Bagaimanapun, manajemen pemilu adalah sebuah kerja birokrasi. Dalam
konteks ini, pemilu demokratis – kompetitif membutuhkan birokrasi yang
netral, tidak memihak, dan tidak menjadi perpanjangan tangan salah satu kekuatan
politik yang ikut bertarung dalam pemilu.