Pengertian demokrasi
Demokrasi berasal dari Bahasa Yunani, yakni
“demos” yang artinya rakyat dan “Kratos” yang berarti pemerintahan. Karena itu
dapat ditafsirkan sebagai Pemerintahan Rakyat. Sebenarnya banyak ragam defenisi
demokrasi, tetapi pada umumnya mengarah pada definisi yang disampaikan Abraham
Lincoln tahun 1863 bahwa “ government of the people, by the people, and for the
people” (Pemerintahan dari
rakyat ke rakyat dan untuk rakyat).
Demokrasi mengemban misi humanitas. Sebuah
bentuk penguatan unsur kemanusiaan. Demokrasi mencoba untuk mendudukkan manusia
sama tinggi dan sama rendah. Di alam demokrasi, semua diatur menurut prinsip
kesetaraan dan egalitarian. Tidak seperti dalam monarki, yang puncak kebenaran
berada di tangan sang raja. Singkatnya, demokrasi menjamin hak-hak mendasar
manusia.
Wajar jika kemudian demokrasi menjadi narasi
raksasa. Namanya bergema melintasi samudera, menembus batas geografis negara,
bahkan menembuas batas-batas sekat primordial. Semua negara di dunia ini
mengklaim bahwa mereka mengadopsi konsep demokrasi.
Demokrasi seolah menjadi trend. Ada sebentuk
kebanggaan ketika berbicara tentang demokrasi.Bahkan mungkin, orang yang tidak
mengerti ‘demokrasi’ pun akan memaksakan diri untuk bicara demokrasi. Meskipun semua negara mengklaim penataan
negaranya dengan konsep demokrasi, namun nyatanya penerapannya berbeda-beda.
Namanyapun kadang bertambah, seperti demokrasi pancasila, demokrasi liberal,
demokrasi sosialis, dan sebagainya.
Definisi menurut Anzam Demokrasi di indoesia itu bukan sebagai Pemerintahan Rakyat, tetapi Pemerintahan Parpol, “ government of political party, by political party, and for
political party ” (Pemerintahan dari parpol, oleh parpol dan untuk parpol).
Realitas Demokrasi
Indonesia
Tak terkecuali negara kita, Indonesia. Negara
kitapun mengklaim menggunakan konsep-konsep demokrasi dalam menata negara.
Sebutlah misalnya, demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah benar apa
yang ditawarkan demokrasi telah mengejawantah di Indonesia? Dengan arif, kita
menjawab ‘BELUM’. Hampir semua makna indah tentang demokrasi itu belum terasa
sampai hari ini. Kita masih berada di lorong gelap demokrasi. Semua tampak
gelap, pekat terselubungi kabut.
Mata kita (rakyat) tak sanggup untuk menembus
kegelapan itu. Hanya kelompok-kelompok tertentu yang bisa melihat dalam gelap,
seperti tikus/kelelawar, dan sejenis binatang malam lainnya. Mereka inilah yang
barangkali mendapat manfaat dari sistem yang kita kenal sebagai “demokrasi”
ini.
Sayangnya, mereka termasuk kelompok minoritas.
Sementara kelompok mayoritas, masih terus menerus bertengkar dan memperebutkan
senter, yang nyalanyapun sudah redup. Kelompok mayoritas ini, hanya mampu
meraba-raba apa yang ada disekitarnya. Tak jarang tangan-tangan mereka menjadi
terluka karena yang diraba ternyata ular kobra, lalu mati.
Kelompok minoritas yang memiliki kemampuan
melihat dalam gelap, kerap membodohi kelompok mayoritas. Dengan perut yang
buncit karena kekenyangan, kelompok minoritas mengeluh kepada mayoritas, bahwa
dia sedang lapar.
Ini adalah gambaran, betapa hari ini kita
tersesat di lorong gelap demokrasi. Politisi dan kaum elit lainnya, hanya
menggunakan “demokrasi” sebagai sebuah retorika politik untuk menjustifikasi
tindakan-tindakannya yang mirip kelompok minoritas.
“Atas nama demokrasi” dan “Atas nama rakyat” …
slogan ini yang paling sering muncul untuk membius rakyat dalam
ketidakberdayaannya.
Bukan karena rakyat ‘bodoh’ atau tidak tahu
bahwa mereka sedang dibohongi. Tapi karena tidak punya waktu untuk
mempersoalkan hal itu. Waktu mereka habis tersita untuk cari makan, biaya
sekolah, dan biaya-biaya lainnya yang terasa mencekik leher.
Demokrasi yang kita agungkan, ternyata tidak
mampu berbuat apa-apa terhadap kaum marginal. Pengemis, gelandangan, pemulung,
pengamen, dan sebagainya. Mereka masih tetap saja terpenjara dalam
kemiskinannya.
Hanya Iklan
Apa yang dihasilkan
demokrasi kita? Banyak. Kesenjangan si Kaya dan si Miskin, koruptor,
pembohongan, demonstrasi, konflik, dan sebagainya.
Hanya itu?
Jika demikian adanya, artinya demokrasi memang
gagal membuktikan narasi besarnya. Pengamen, pengemis, pemulung, masih tetap
langgeng dalam dunianya. Mereka tetap tidak berdaya menghadapi hidup yang makin
hari makin mencekik leher mereka.
Kesejahteraan? Ya … mereka hanya bisa mengintip
dari jauh. Melihatnya dengan jelas saja sulit, apalagi menyentuhnya.
Demokrasi hanya kata tanpa makna. Demokrasi
hanya agung pada ranah teori, tapi nista pada tataran realitas. Semua hanya
sekadar nama besar yang sama sekali tidak bermakna.
Lalu dengan berat hati, kita harus mengatakan,
bahwa kita tidak butuh apapun dari demokrasi. Demokrasi hanya menjadi parasit
dalam kehidupan kita. Demokrasi tak lebih dari sekadar iklan, yang menawarkan
sejuta harapan, tapi tidak mampu menunjukkan manfaat. Demokrasi memang perlu di gugat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar