Jumat, 16 Maret 2012

Haruskah Menggugat Demokrasi


Pengertian demokrasi
  Demokrasi berasal dari Bahasa Yunani, yakni “demos” yang artinya rakyat dan “Kratos” yang berarti pemerintahan. Karena itu dapat ditafsirkan sebagai Pemerintahan Rakyat. Sebenarnya banyak ragam defenisi demokrasi, tetapi pada umumnya mengarah pada definisi yang disampaikan Abraham Lincoln tahun 1863 bahwa “ government of the people, by the people, and for the people” (Pemerintahan dari rakyat ke rakyat dan untuk rakyat).
  Demokrasi mengemban misi humanitas. Sebuah bentuk penguatan unsur kemanusiaan. Demokrasi mencoba untuk mendudukkan manusia sama tinggi dan sama rendah. Di alam demokrasi, semua diatur menurut prinsip kesetaraan dan egalitarian. Tidak seperti dalam monarki, yang puncak kebenaran berada di tangan sang raja. Singkatnya, demokrasi menjamin hak-hak mendasar manusia.
Wajar jika kemudian demokrasi menjadi narasi raksasa. Namanya bergema melintasi samudera, menembus batas geografis negara, bahkan menembuas batas-batas sekat primordial. Semua negara di dunia ini mengklaim bahwa mereka mengadopsi konsep demokrasi.
 Demokrasi seolah menjadi trend. Ada sebentuk kebanggaan ketika berbicara tentang demokrasi.Bahkan mungkin, orang yang tidak mengerti ‘demokrasi’ pun akan memaksakan diri untuk bicara demokrasi. Meskipun semua negara mengklaim penataan negaranya dengan konsep demokrasi, namun nyatanya penerapannya berbeda-beda. Namanyapun kadang bertambah, seperti demokrasi pancasila, demokrasi liberal, demokrasi sosialis, dan sebagainya.
  Definisi menurut Anzam Demokrasi di indoesia itu bukan sebagai Pemerintahan Rakyat, tetapi Pemerintahan Parpol, “ government of political party, by political party, and for  political party  (Pemerintahan dari parpol, oleh parpol dan untuk parpol).

Realitas Demokrasi Indonesia
  Tak terkecuali negara kita, Indonesia. Negara kitapun mengklaim menggunakan konsep-konsep demokrasi dalam menata negara. Sebutlah misalnya, demokrasi terpimpin dan demokrasi pancasila.
Pertanyaan yang muncul adalah apakah benar apa yang ditawarkan demokrasi telah mengejawantah di Indonesia? Dengan arif, kita menjawab ‘BELUM’. Hampir semua makna indah tentang demokrasi itu belum terasa sampai hari ini. Kita masih berada di lorong gelap demokrasi. Semua tampak gelap, pekat terselubungi kabut.
  Mata kita (rakyat) tak sanggup untuk menembus kegelapan itu. Hanya kelompok-kelompok tertentu yang bisa melihat dalam gelap, seperti tikus/kelelawar, dan sejenis binatang malam lainnya. Mereka inilah yang barangkali mendapat manfaat dari sistem yang kita kenal sebagai “demokrasi” ini.
Sayangnya, mereka termasuk kelompok minoritas. Sementara kelompok mayoritas, masih terus menerus bertengkar dan memperebutkan senter, yang nyalanyapun sudah redup. Kelompok mayoritas ini, hanya mampu meraba-raba apa yang ada disekitarnya. Tak jarang tangan-tangan mereka menjadi terluka karena yang diraba ternyata ular kobra, lalu mati.
  Kelompok minoritas yang memiliki kemampuan melihat dalam gelap, kerap membodohi kelompok mayoritas. Dengan perut yang buncit karena kekenyangan, kelompok minoritas mengeluh kepada mayoritas, bahwa dia sedang lapar.
  Ini adalah gambaran, betapa hari ini kita tersesat di lorong gelap demokrasi. Politisi dan kaum elit lainnya, hanya menggunakan “demokrasi” sebagai sebuah retorika politik untuk menjustifikasi tindakan-tindakannya yang mirip kelompok minoritas.
 “Atas nama demokrasi” dan “Atas nama rakyat” … slogan ini yang paling sering muncul untuk membius rakyat dalam ketidakberdayaannya.
  Bukan karena rakyat ‘bodoh’ atau tidak tahu bahwa mereka sedang dibohongi. Tapi karena tidak punya waktu untuk mempersoalkan hal itu. Waktu mereka habis tersita untuk cari makan, biaya sekolah, dan biaya-biaya lainnya yang terasa mencekik leher.
  Demokrasi yang kita agungkan, ternyata tidak mampu berbuat apa-apa terhadap kaum marginal. Pengemis, gelandangan, pemulung, pengamen, dan sebagainya. Mereka masih tetap saja terpenjara dalam kemiskinannya.

Hanya Iklan
  Apa yang dihasilkan demokrasi kita? Banyak. Kesenjangan si Kaya dan si Miskin, koruptor, pembohongan, demonstrasi, konflik, dan sebagainya.
  Hanya itu?
 Jika demikian adanya, artinya demokrasi memang gagal membuktikan narasi besarnya. Pengamen, pengemis, pemulung, masih tetap langgeng dalam dunianya. Mereka tetap tidak berdaya menghadapi hidup yang makin hari makin mencekik leher mereka.
 Kesejahteraan? Ya … mereka hanya bisa mengintip dari jauh. Melihatnya dengan jelas saja sulit, apalagi menyentuhnya.
 Demokrasi hanya kata tanpa makna. Demokrasi hanya agung pada ranah teori, tapi nista pada tataran realitas. Semua hanya sekadar nama besar yang sama sekali tidak bermakna.
 Lalu dengan berat hati, kita harus mengatakan, bahwa kita tidak butuh apapun dari demokrasi.  Demokrasi hanya menjadi parasit dalam kehidupan kita. Demokrasi tak lebih dari sekadar iklan, yang menawarkan sejuta harapan, tapi tidak mampu menunjukkan manfaat. Demokrasi memang perlu di gugat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar