Menurut Varma ilmu politik merupakan salah satu ilmu tertua dari
berbagai cabang ilmu yang ada, tentunya bila hal ini ditinjau sebagai sebuah
pembahasan secara rasional dari berbagai aspek negara dan kehidupan politik,
sedangkan Miriam Budiardjo menjelaskan apabila ilmu politik dipandang
semata-mata sebagai salah satu cabang dari ilmu-ilmu sosial yang memiliki
dasar, rangka, fokus dan ruang lingkup yang jelas maka dapat dikatakan bahwa
ilmu politik masih muda usianya karena baru lahir pada akhir abad ke-19.[1] Sampai abad ini ilmu politik sebagai salah
satu disiplin dari ilmu-imu sosial telah mengalami perkembangan yang sangat
pesat sejak kelahirannya, maka apabila kita tinjau dari buku Varma tentang
sejarah perkembangan ilmu politik beliau membagi perkembangan ilmu politik pada
tiga periode yaitu, periode tradisional,
behavioralisme (pendekatan perilaku)
dan post behavioralisme (pendekatan pasca
perilaku), dari ketiga periode tersebut Varma menjelaksan ciri-ciri, ruang
lingkup serta objek kajiannya.
Pada periode klasik
ilmu politik memusatkan perhatiannya kepada masalah negara ideal, para pemikir
politik abad pertengahan ini melibatkan diri mereka pada pengembangan suatu
kerangka bagi adanya kerajaan Tuhan di dunia, sedangkan para pemikir politik
pada zaman sesudahnya telah melibatkan diri mereka pada masalah-masalah lainya
seperti kekuasaan, wewenang dan lain-lain. Tetapi pada masa selanjutnya, ilmu
politik berfokus kepada masalah kelembagaan
dan pendekatan yang digunakan semakin luas. Pendekatan yang digunakan pada saat
itu bersifat historis dalam
pengertian bahwa para pemikir politik lebih memusatkan perhatianya pada upaya
melacak serta menggambarkan berbagai fenomena politik yang ada, atau pada
perkembangan lembaga-lembaga politik yang
bersifat khusus. Jadi pada periode ini (periode tradisional) menurut Varma
penekanan utama objek kajian ilmu politik menitikberatkan pada pendekatan
kelembagaan dan aspek kesejarahan, walaupun terkadang para pemikir ilmu politik
ini juga mencoba juga menganalisis konsep-konsep seperti : negara, hak-hak,
keadilan dan tentang cara kerja pemerintahan, tetap kita akan sulit membedakan
antara ilmu politik dan ilmu sejarah pada periode ini. Saat itu ilmu politik
masih merupakan sebuah disiplin ilmu sosial yang hanya dapat dipelajari di
perpustakaan atau ruang-ruang belajar dari pada pembelajaran di lapangan, di
mana interaksi-interaksi politik sebenarnya terjadi disana.
Kencenderungan ilmu
politik menggunakan analisa sejarah terus berlanjut, sampai kemudian pendekatan
sejarah ini ditambah dengan perspektif
normatif, sehingga para penulis politik mulai membahas teori perbandingan
pemerintahan dengan meneliti kekurangan dan kelebihan dari berbagai lembaga
politik, misalnya penelitian perbandingan sistem presidensil dan parlementer,
sistem pemilihan distrik dan proporsional serta negara kesatuan dan negara
federal. Tetapi penambahan perspektif baru pada penelitian ilmu politik tidak
membawa perubahan yang fundamental bagi perkembangan ilmu politik. Pada perkembangan
selanjutnya pendekatan ilmu politik ditambahkan lagi dengan pendekatan yang
bersifat taksonomi deskriptif, di
mana ada suatu penekanan yang begitu besar pada pengumpulan dan penggolongan
fakta-fakta tentang lembaga-lembaga serta proses-proses politik. Pendekatan-pendekatan
yang dilakukan dalam ilmu politik tradisional sebagaimana digambarkan yaitu
bersifat analisisa historis, legal kelembagaan, normatif perspektif dan
taksonomi deskriptif, tidak begitu eksklusif satu sama lain dan kadang-kadang objek
penelitian mereka saling bertemu satu-sama lain. Terlepas dari beberapa
kekurangan pendekatan penelitian ilmu politik dalam kerangka tradisional, para
ilmuwan politik pada masa itu menurut Varma telah mengembangkan pengetahuan
yang lebih luas tentang cara kerja berbagai lembaga politik, dari pada apa yang
dilakukan pada beberapa abad sebelumnya. Mereka telah berhasil menyelidiki
dimana kekuasaan terletak dalam suatu masyarakat serta bagaimana proses
operasional kekuasaan tersebut di dalam sebuah institusi lembaga pemerintahan.
Menurut Varma penekanan
metodelogi penelitian pada struktur-struktur lembaga politik formal oleh para
ilmuwan politik tradisional, secara perlahan mulai membuka jalan baru bagi
penelitian ilmu politik yang lebih terarah, sehingga ruang lingkup ilmu politik
tidak lagi terbatas pada filsafat politik dan deskripsi kelembagaan saja.
Terdapat suatu kecenderungan yang lebih besar dalam meneliti lembaga atau
organisasi politik menggunakan metodelogi yang bersifat empiris. Bahkan ada keinginan untuk lebih memanfaatkan disiplin
ilmu lain sebagai alat bantu analisa politik, seperti pemakaian metode
kuntitatif dan penggunaan peralatan riset untuk mengumpulkan dan mengolah
data-data politik yang ditemukan. Perkembangan ini menurut Varma terjadi bukan
sepenuhnya jasa dari kaum behavioralis, sebelum pendekatan perilaku menjadi
kiblat pendekatan penelitian politik, para ilmuwan politik sudah mempunyai
keinginan ilmu politik menjadi subjek yang bersifat interdisipliner. Walaupun
kemudian penelitian politik yang dihasilkan oleh para ilmuwan politik ini dapat
dianggap sangat akurat dengan peralatan riset yang sangat primitif, tapi bagi
Varma perkembangan tersebut belum menunjukan bahwa ilmu politik mampu
menjangkau metode pengumpulan, pengelolaan serta analisa data yang canggih dan
teliti. Oleh karena itu ketidakpuasan terhadap keadaan ilmu politik benar-benar
tidak dapat dihindari. Ketidakpuasan ini menyebabkan keresahan serta tuntutan
supaya ilmu politik membutuhkan unit analisa, metode, teknik, dan teori
sistematis yang baru, terlebih pada masa perang dunia kedua ada kesan disiplin
ilmu politik tidak diakui oleh pemerintah Amerika Serikat terbukti dengan tidak
dilibatkanya para ilmuwan politik dalam proses pengambilan sebuah keputusan, berbeda
dengan para ilmuwan sosial dari disiplin ilmu ekonomi, ilmu sosiologi dan
antropologi, mereka mampu memberikan peranan pada setiap pembuatan kebijakan
pemerintah. Ada juga pendapat yang menjelaskan bahwa lembaga-lembaga politik
tidak lagi dianggap sebagai unit-unit dasar analisa dan penelitian, sehingga
penelitian lebih dititik beratkan ke arah perilaku individu-individu dalam situasi-situasi politik, kedua hal
tersebut menjadi faktor pendorong lahirnya pendekatan perilaku (behavioral approach).
Pendekatan perilaku
dalam ilmu politik menurut David E Apter[2]
menggunakan paradigma ilmu pengetahuan alam yang dihubungkan dengan doktrin positivisme Saint Simon yang menekankan
metode-metode ilmiah. Positivisme[3] merupakan
perkembangan lebih lanjut dari aliran empirisme yang didukung oleh para filosof
Inggris seperti Locke, Berkeley dan Hume. Empirisme seperti yang kita ketahui
bersama meyakini bahwa realitas adalah sesuatu yang hadir melalui data
sensoris, dengan kata lain pengetahuan kita harus berawal dari verifikasi
empirik dengan mengatakan bahwa puncak pengetahuan manusia adalah ilmu-ilmu
positif atau sains (ilmu-ilmu yang berangkat dari fakta-fakta yang terverifikasi dan terukur secara ketat).
Kemunculan positivisme ini tidak dapat dilepaskan dari iklim kultur saat itu
yang memungkinkan berkembangnya gerakan untuk menerapkan cara kerja sains dalam
berbagai bidang kehidupan manusia. Sehingga positivisme menurut Donny Gahral
Adian[4], menjadi
sebuah dogma epistemik dengan mengklaim bahwa ilmu pengetahuan haruslah
mengikuti doktrin unified science apabila
ingin disebut ilmu pengetahuan ilmiah bukan semata-mata pengetahuan sehari-hari
praktis eksistensial. Menurutnya positivisme memiliki beberapa ciri yang antara
lain : (1) Objektif / bebas nilai, dikotomi yang tegas antara fakta dan nilai
mengharuskan subjek peneliti mengambil jarak dengan realitas dengan bersikap bebas nilai, (2) fenomenalisme : tesis
bahwa realitas terdiri dari
impresi-impresi, ilmu pengetahuan hanya berbicara tentang realitas
berupa impresi-impresi tersebut, (3) reduksionisme : realitas direduksi menjadi
fakta-fakta yang dapat diamati, (4) Mekanisme : tesis bahwa semua gejala dapat
dijelaskan dengan prinsip-prinsip sistem-sistem mekanis.
Para ilmuwan politik ini kemudian berusaha
menjadikan disiplin ilmu politik menjadi ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah
dan sistematis, sehingga bisa disejajarkan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lain
(baik ilmu sosial dan ilmu alam), salah satu caranya dengan menggunakan logika
positivisme seperti yang dijelaskan diatas sebagai metode penelitian untuk
memahami realitas politik yang terjadi di masyarakat. Mereka berargumen bahwa
penelitian di bidang politik harus mempunyai relevansi langsung dengan
kenyataan politik praktis yang ada. Beberapa ilmuwan politik seperti Charles
Beard, AL Lowell dan Arthur Bentley memainkan peranan yang sangat penting dalam
upaya memperluas ruang lingkup ilmu politik ini dengan penggunaan metode teknik
statistik, sedangkan Arthur Bentley memberikan sumbangan dua gagasanya untuk
pendekatan perilaku yaitu gagasan kelompok dan konsep tentang proses. Selain ketiga
ilmuwan politik tersebut perkembangan pendekatan perilaku menganal Charles
Merriam, sumbangan Charles Merriam
dalam perkembangan pendekatan perilaku dalam ilmu politik adalah : (1) Ia
berkeinginan penelitian-penelitian di bidang politik benar-benar memanfaatkan
kemajuan inteligensia manusia yang telah di bawa ke dunia oleh ilmu-ilmu sosial
dan ilmu-ilmu alam dan mendorong adanya penelitian yang bersifat kooperatif dan
kolaboratif, (2) ia berpendapat bahwa
pendekatan disiplin sejarah tidak relevan digunakan sebagai salah satu
pendekatan yang digunakan dalam ilmu politik, dengan alasan pendekatan historis
mengabaikan faktor-faktor psikologis, sosial dan ekonomi.
Pendekatan perilaku mencapai puncak
perkembangnya setelah perang dunia kedua, ilmu politik tidak lagi dianggap
sebagai ilmu pengetahuan kelas dua, perkembangan ini tentunya tidak lepas dari
dukungan berbagai organisasi penderma (donatur) seperti Carnegie, Rockefeller
dan Ford yang memberikan dana bagi penelitian-penelitian perilaku, tanpa
dukungan organisasi-organisasi ini, penelitian perilaku yang banyak memakan
biaya tidak akan pernah berkembang dengan baik hingga saat ini.
Menurut Varma mengutip pendapat Waldo
perkembangan pendekatan perilaku dalam ilmu politik selain mengandung sisi
positif juga mengandung sisi negatif, sisi positif perkembangan pendekatan
perilaku bagi ilmu politik diantaranya mendorong ilmu politik menggunakan
metode-metode cabang ilmu sosial dan ilmu alam yang telah lebih dulu maju dalam
metode penelitian dan riset, sehingga pendekatan penelitian yang digunakan ilmu
politik bisa lebih komprehensif untuk menjelaskan banyak fenomena politik yang
terjadi, apalagi dengan menerapkan sebanyak mungkin logika matematis khususnya
metode statistik kuantitatif dalam pendekatan perilaku bisa mencapai
generalisasi yang lebih tinggi yang mampu menerangkan banyak fenomena dengan
lebih jelas. Sedangkan sisi negatifnya pendekatan perilaku menentang analisa
kelembagaan serta menentang upaya melibatkan ilmu politik dengan masalah-masalah
moral dan etika serta menghindari pemihakan ilmuwan dalam penelitianya.
Sisi negatif dari pendekatan perilaku ini
kemudian menjadi embrio ketidakpuasan beberapa kalangan yang memunculkan
pendekatan baru dalam ilmu politik yang disebut pendekatan pasca perilaku (post behavioral approach). Pendekatan
pasca perilaku sangat dipengaruhi oleh aliran kiri baru yang menjadi sebuah fenomena politik era tahun 1960an di
Amerika Serikat serta beberapa negara Eropa saat itu. Istiah kiri baru[5] pertama
kali digunakan oleh kelompok Marxis liberal yang berpusat di sekitar New left Review , istilah itu kemudian
digunakan oleh gerakan mahasiswa dunia. Pemikiran kaum kiri baru ini sangat
dipengaruhi oleh para intelektual Frankfurt di Jerman, mereka membudayakan
aliran sosial kritis yang bersifat emansipatoris, teori emansipatoris menurut
mereka harus memenuhi tiga syarat : (1) bersikap kritis dan selalu curiga
terhadap zamanya, (2) berpikir secara historis, berpijak pada masyarakat dalam
prosesnya yang historis (3) tidak memisahkan teori dan praksis, tidak
melepaskan fakta dari nilai. Teori kritis senantiasa menolak logika pengetahuan
yang dikembangkan oleh aliran positivisme, menurut mereka positivisme hanya
merekontruksi hukum-hukum kausal yang bekerja dalam suatu tatanan masyarakat
yang bisa diverifikasi melalui empirical
test, sehingga “membutakan” para ilmuwan sosial bahwasanya perilaku manusia
tidak bisa dipandang sebagai manifestasi suatu tata kausalitas, perilaku
manusia lebih menampilkan simbol yang berarti terhadap makna yang mendasarinya.
Selain itu positivisme membimbing pelaku sejarah dan ilmuwan sosial pada total pasitivity, kriteria bebas nilai
yang diajukan membuat ilmuwan tidak mampu melihat sesuatu yang salah dalam
masyarakat, tugas seorang ilmuwan hanya memaparkan, mendeskripsikan realitas
sedetil-detilnya lewat fakta-fakta yang terukur sehingga proses-proses sosial
yang sifatnya melampaui fakta-fakta yang terukur menjadi tertutupi. Realitas
yang dideskripsikanya adalah realitas statis dengan hukum-hukum objektif,
sedangkan realitas sesungguhnya adalah realitas yang penuh dinamika.[6] Pengaruh teori kritis berimbas juga pada
perkembangan ilmu politik selanjutnya, banyak para ilmuwan politik dan sosial
mempertanyakan kembali pendekatan perilaku dalam menjelaskan berbagai fenomena
yang terjadi di masyarakat, serangkaian pertemuan digelar oleh Asosiasi Ilmu
Politik Amerika (APSA) merespon ketidakpuasan pendekatan perilaku selama ini,
terlebih-lebih suatu forum rapat (Caucus) pada tahun 1969 telah mengeluarkan
manifestonya, bahwa dibutuhkan pendekatan ilmu politik baru yang diarahkan
untuk melayani rakyat miskin, tertindas dan terbelakang, baik dalam negara
mereka sendiri maupun di luar negara, dalam perjuanganya melawan
hirarki-hirarki, kelompok elit serta bentuk-bentuk manipulasi kelembagaan yang
telah mapan.
Munculnya pendekatan pasca perilaku ini
dalam ilmu politik merupakam sebuah antitesa terhadap kemapanan logika
positivisme yang dikembangkan dalam pendekatan perilaku, pendekatan ini
menitikberatkan supaya para ilmuwan politik mampu memahami masalah sosial dan
politik yang terjadi dengan memberikan sumbangan pemikiran bagi pemecahanya.
Secara garis besar dalam bukunya Varma menjelaskan dua tuntutan utama
pendekatan pasca perilaku yaitu relevansi
dan tindakan, termasuk ada tujuh
karakter yang dimiliki oleh kaum pendekatan pasca perilaku. Ketujuh karakter
tersebut adalah :
1.
Dalam penelitian politik subtansi harus mendahului teknik artinya bahwa
setiap penelitian politik yang akan dilaksankan terlebih dahulu harus memiliki
tujuan untuk memecahkan permasalahan sosial politik yang terjadi.
2. Perubahan sosial harus menjadi penekanan
yang utama pada pendekatan ilmu politik, nilai social transformation menjadi kebutuhan utama dari pada social preservation.
3.
Ilmu politik tidak boleh melepaskan dirinya dari realitas sosial.
4.
Ilmu politik jangan melepaskan dirinya dari sistem nilai.
5.
Tugas utama ilmuwan ialah mempunyai peranan yang harus dimainkan dalam
masyarakat serta melindungi peradaban nilai-nilai kemanusiaan.
6.
Ilmu pengetahuan khususnya ilmu politik memiliki komitmen untuk
bertindak. Ilmu politik bagi mereka harus menggantikan ilmu yang bersifat
kontemplatif.
7.
Kaum intelektual memiliki peranan positif dalam masyarakat dan peranan
ini menentukan tujuan yang pantas bagi masyarakat serta membuat masyarakat
bergerak sesuai dengan tujuan itu.
ANALISA PERKEMBANGAN
ILMU POLITIK SEBAGAI SUATU DISIPLIN
Membaca
perkembangan ilmu politik yang ditulis Varma dalam bukunya membuat kita
mengerti tentang sejarah tahapan-tahapan perkembangan ilmu politik, dari
tahapan ilmu politik yang menggunakan pendekatan tradisional, perilaku dan
pasca perilaku. Dinamika perkembangan ilmu politik tersebut tidak bisa
dilepaskan dari konstruksi serta relevansi sosial yang terjadi saat itu, menurut
penulis pendekatan ketiganya merupakan bentuk responsif ilmu politik terhadap
perubahan serta dinamika yang terjadi di masyarakat. Pendekatan perilaku muncul
karena desakan situasi dan kondisi saat itu di Amerika Serikat supaya ilmu
politik bisa disejajarkan dengan ilmu-ilmu pengetahuan lainya, sehingga
kebutuhan akan unit analisa komprehensif yang mencakup logika matematis,
statistik kuantitatif, psikologi, sosiologi dan beberapa metodelogi ilmu alam
sangat dibutuhkan. Unit analisa tersebut tentu saja tidak cukup memberikan
kepastian ilmu politik bisa diakui sebagai salah satu ilmu pengetahuan yang
bersifat ilmiah dan sistematis. Ilmu politik harus bisa merubah dirinya menjadi
ilmu pengetahuan yang sesuai dengan logika positivisme, sebuah logika yang
diciptakan untuk menempatkan ilmu pengetahuan dalam wilayah objektifitas,
netralitas dan bebas nilai, karena ilmu sosial pada umumnya termasuk didalamnya
ilmu politik sangat rentan dengan unsur-unsur subjektifisme.
Menurut penulis
penggunaan logika positivisme dalam ilmu politik membuat para ilmuwan politik
bisa terjebak menjadi pemberi “legitimasi” suatu kebenaran dengan memberikan
parameter-parameter keilmiahan pada sebuah fenomena sosial politik yang terjadi
di masyarakat, padahal tidak semua realitas dapat dideskripsikan menjadi
fakta-fakta yang terukur, karena realitas sejatinya adalah realitas yang penuh
dinamika yang terkadang tertutupi serta melampaui fakta yang bisa diukur dengan
logika matematis. Dengan logika positivisme yang terdapat dalam pendekatan
perilaku terkadang membuat para ilmuwan politik juga harus menjaga “netralitas”
ketika melihat permasalahan sosial yang terjadi, karena dengan keterlibatan
emosi serta nilai yang dianut seorang ilmuwan politik dalam melakukan pembacaan
suatu fenomena bisa mempengaruhi derajat keilmiahan penelitianya. Terlepas
kekurangan yang dimiliki pendekatan perilaku, kita harus berterimakasih kepada
para tokohnya, karena dengan pendekatanya ini ilmu politik bisa disejajarkan
dengan ilmu pengetahuan lainya dan tidak lagi dianggap ilmu kelas dua.
Dalam bukunya
Varma menjelaskan bahwa pendekatan pasca perilaku yang dipengaruhi oleh
kalangan kiri baru muncul sebagai
kritik atas behavioralisme yang dianggap tidak bisa melayani kaum miskin yang
tertindas dan terbelakang, pendekatan baru ini ingin menjawab permasalahan
sosial yang pada saat itu (situasi di Amerika serta belahan dunia lainya)
diliputi ketidakpastian dengan munculnya gerakan-gerakan sosial yang menuntut
hak-hak sipil, kekurangan Varma dalam bukunya tersebut tidak menyebutkan secara
detail tokoh yang merintis pendekatan kritis dalam ilmu politik, ini sangat
berbeda dengan uraianya ketika menjelaskan periode tradisional dan pendekatan
perilaku, ia secara lengkap mengulas para tokoh-tokohnya. Ia hanya menjelaskan
secara generialisasi pokok-pokok pemikiran pendekatan pasca perilaku. Berdasarkan
analisa penulis ketika menelusuri genealogi
teori kritis yang menjadi paradigma kalangan pasca perilaku dari beberapa
literatur, dapat dijelaskan bahwa teori ini muncul dengan dimensi ideologi yang
sangat kuat, sebelum kelahiran para intelektual Mazhab Frankfurt yang
senantiasa mengembangkan budaya kritis terhadap ilmu pengetahuan, para pemikir
marxis seperti Antonio Gramsci dan Karl Korsch menjadi peletak pertama yang
mengilhami para intelektual Frankfurt,[7]
mereka melakukan kritik terhadap objektifikasi ajaran-ajaran Karl Marx sebagai
sebuah ideologi di negara Uni Soviet, sehingga penafsiran negara terhadap
marxisme cenderung kearah positivisme. Sikap kritis Gramsci dan Korsch terhadap
pembakuan ideologi marxisme ini, kemudian menjadi dasar teorisasi kritis
intelektual Frankfurt ketika
memandang semua realitas sosial politik yang terjadi, sikap kritis mereka tidak
hanya ditunjukan pada metodelogi pengetahuan marxisme saja, fenomena non
marxispun menjadi sebuah objek kajian yang cukup menarik juga bagi mereka.
Pendekatan pasca
perilaku menggunakan metode penelitian pastisipatoris, yaitu suatu jenis
penelitian kombinasi antara penelitian sosial, kerja sosial, kerja pendidikan
dan aksi politik[8],
dari definisi tersebut penulis dapat menyimpulkan bahwa pendekatan pasca
perilaku lebih menitikberatkan pada fungsi penelitian sebagai alat perubahan
sosial, sehingga objektifikasi keilmiahan suatu pengetahuan dinilai oleh
sebagian ilmuwan kurang diperhatikan, ilmu politik bagi mereka adalah sebuah
metode aksi untuk merubah tatanan yang mapan menuju tatanan sosial yang
diidealkan oleh para ilmuwan sosial. Paradigma transformatif yang menjadi
pondasi pendekatan pasca perilaku merupakan jawaban ilmuwan politik terhadap
realitas masyarakat saat itu yang ternyata masih belum bisa menikmati hak-hak
sosialnya ketika berhadapan dengan sistem politik represif, ilmu politik ingin
menjawab problematika tersebut dengan melakukan perubahan revolusioner unit
analisisnya. Terlepas dari kekuranganya pendekatan ini, selain telah membawa
ilmu politik sebagai ilmu yang ilmiah juga menjadi sebuah ilmu yang solutif
bagi permasalahan sosial yang muncul dimasyarakat.
[1] Miriam
Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik
(edisi revisi). (Jakarta : PT Gramedia Pustaka 2009) Hal 5
[2] David E. Apter, Pengantar
Analisa Politik. (Jakarta: CV.Rajawali & Yasogama. 1988) Hal 333.
[3]Donny
Gahral Adian, Arus Pemikiran Kontemporer
: Atheisme, Positivieme Logis, Neo Marxisme, Posmodernisme dan Post Ideology
Syndrome. (Yogyakrata : Jalasutra, 2001) Hal 30
[7] Franz
Magnis Suseno, Dalam Bayangan Lenin :
Enam Pemikir Marxisme Dari Lenin Sampai Tan Malaka. (Jakarta : PT Gramedia
Pustaka Utama, 2003).
[8] Mansour
Fakih, Jalan Lain : Manifesto Intelektual
Organik. (Yogyakarta : INSISTPress dan Pustaka Pelajar, 2002) Hal 52.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar