Jumat, 16 Maret 2012

Memehami Politik Indonesia


Politik merupakan wilayah konsep dan praktis yang sangat luas. Sebagai sebuah konsep, politik bisa berwujud suatu yang abstrak, namun terkadang bisa diukur dengan kriteria-kriteria tertentu. Sebagai praktis, politik bisa terjadi di wilayah yang kecil, misalnya di suatu desa, tetapi juga bisa terjadi di wilayah yang besar, misalnya dalam suatu negara atau bahkan antar negara. Kesadaran politik warga negara baru bisa dikategorisasikan sebagai memadai jika kesadaran itu tumbuh dari pengetahuan dan pemahamannya yang cukup tentang konsep-konsep dasar politik.  Nalar politik, dengan demikian, sangat terkait dengan pemahaman yang memadai tentang bekerjanya suatu teori politik sekaligus memahami pengaruh-pengaruh langsung dari bekerjanya sistem tersebut terhadap diri dan masyarakat pada umumnya.
(Harold D. Lasswell) politik adalah soal “siapa mendapatkan apa, kapan dan dengan cara yang bagaimana”. Esensi politik adalah konflik. Karena politik adalah hal mencari, mempertahankan dan memanfaatkan kekuasaan. Yang dimaksud dengan hak-hak politik warga negara adalah mencakup :
  1. Hak memilih dalam pemilihan umum.
  2. Hak menyatakan pendapat dan berasosiasi.
  3. Hak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari tindakan lembaga-lembaga negara yang menyimpang dari kewenangannya.
Kekuasaan adalah konsep yang berhubungan erat dengan masalah pengaruh, persuasi, manipulasi, koersi, kekuatan dan kewenangan. Kekuasaan juga bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang atau suatu kelompok untuk mempengaruhi tingkah laku orang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku orang atau kelompok lain itu sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu.
Hubungan Politik dan Kekuasaan
Secara umum dapat dirumuskan bahwa politik adalah berbagai kegiatan dalam suatu sistem atau negara yang menyangkut proses untuk menentukan tujuan bersama (negara) dan melaksanakan tujuan itu. Untuk menentukan dan melaksanakan keputusan itu diperluakan pengambilan keputusan (decision making) yang diwujudkan dalam kebijakan-kebijakan umum (public policy) yang di dalamnya diatur pembagian (distribusion) dari sumber-sumber (kekuasaan) yang ada.
Untuk melaksanakan kebijakan-kebijakan itu diperlukan kekuasaan (power) dan kewenangan (authority), yang akan dipakai baik untuk membangun kerja sama maupun untuk menyelesaikan konflik yang mungkin timbul dalam proses ini. Cara yang dipakai bisa
dalam bentuk persuasi (meyakinkan), dan kalau perlu paksaan (coersion). Politik selalu menyangkut tujuan-tujuan dari seluruh masyarakat (public goals), dan bukan tujuan-tujuan pribadi seseorang (privat goals).
Pengaruh (influence) adalah kemampuan seseorang untuk mempengaruhi orang lain agar mengubah sikap atau perilakunya denga suka rela. Persuasi adalah kemampuan meyakinkan orang lain dengan argumentasi untuk melakukan sesuatu.Manipulasi adalah penggunaan pengaruh di mana yang dipengaruhi tidak mengetahui bahwa tingkah lakunya sebenarnya mematuhi keinginan pemegang kekuasaan.
Dalam banyak kasus yang terjadi, politik atau kekuasaan sering dipraktekkan sebagai arena atau alat untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan. Sehingga tidak mengherankan kalau politik atau kekuasaan sering bermakna “kotor” atau “menghalalkan segala cara”. Dalam suatu sistem demokratis, politik atau kekuasaan mempunyai makna dan dipraktekkan secara positif dan rasional. Dalam sistem ini politik/kekuasaan adalah alat untuk menciptakan kesejahteraan umum dan mendukung proses-proses sosial yang adil dan manusiawi. Seperti dikatakan M. Amien Rais, kekuasaan hendaknya tidak menjadi tujuan dari partai politik, melainkan alat untuk memulihkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
Koersi adalah ancaman paksaan yang dilakukan seseorang/kelompok terhadap pihak lain agar sikap dan berperilaku sesuai dengan kehendak pihak yang memiliki kekuasaan. Kekuatan (force) adalah penggunaan tekanan fisik kepada orang lain agar melakukan sesuatu. Kewenangan (authority) adalah kekuasaan yang memiliki kebasahan (legitimate power). Sedang kekuasaan tidak selalu memiliki kewenangan. Sumber kewengan ada lima, yaitu :
  1. Tradisi atau kepercayaan
  2. Tuhan atau wahyu
  3. Kualitas pribadi sang pemimpin.
  4. Peraturan perundang-undangan
  5. Dan keahlian/kekayaan.
Legitimasi adalah penerimaan dan pengakuan masyarakat terhadap kewenangan dan kekuasaan. Ada tiga cara mendapatkan legitimasi, yaitu :
  1. Simbolis. Yaitu dengan memanipulasi kecendrungan moral, emosional, tradisi, kepercayaan dan nilai-nilai budaya pada umumnya dalam bentuk simbol.
  2. Prosedural. Yaitu dengan menjanjikan dan memberikan kesejahteraan material pada masyarakat seperti menjamin tersedianya kebutuhan dasar (basic needs), fasilitas kesehatan, pendidikan, sarana produksi pertanian, dan lain-lain.
  3. Materiil. Yaitu dengan cara menyelenggarakan pemilihan umum untuk menentukan wakil rakyat, presiden dan para anggota lembaga tinggi negara atau referendum untuk mengesahkan suatu kebijakan umum.
Konflik adalah perbedaan pendapat, persaingan dan pertentangan di antara sejumlah individu, kelompok atau organisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan yang dibuat dan dilaksanakan pemerintah. Sebab terjadinya konflik ialah adanya benturan kepentingan, baik yang bersifat horisontal (antara masyarakat dengan masyarakat) maupun vertikal (masyarakat vs pemerintah). Dilihat dari strukturnya, ada beberapa jenis konflik, yaitu :
  1. Konflik menang kalah (zero-sum conflict). Adalah dimana situasi konflik yang bersifat antagonistik (berlawanan), sehingga tidak memungkinkan tercapainya kompromi di antara pihak-pihak yang berkonflik.
  2. Konflik menang-menang (non zero-sum conflik). Adalah situasi konflik dimana pihak-pihak yang berkonflik masih mungkin mengadakan suatu kompromi dan kerja sama sehingga semua pihak aka mendapatkan bagian dari konflik itu.
Bentuk-bentuk pengaturan konflik antara lain : konsiliasi, mediasi, arbitrasi, dan lain-lain. Konflik antar partai politik diatur dengan cara :
  1. Dilakukan koalisi pemerintahan yang stabil di antara partai-partai politik.
  2. Diterapkan prinsip proporsionalitas, yaitu posisi-posisi pemerintahan yang penting didistribusikan kepada partai-partai politik sesuai dengan proporsi jumlahnya dalam keseluruhan penduduk.
  3. Diterapkan sistem saling-veto, yaitu suatu keputusan politik tidak akan diputuskan tanpa disetujui oleh semua partai politik yang berkonflik.

PARTAI DAN PARTISIPASI POLITIK

(Carl Friedrich) Partai politik adalah kelompok manusia yang terorganisasikan secara stabil dengan tujuan untuk merebut atau mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan bagi pemimpin partai dan berdasarkan kekuasaan itu akan memberikan kegunaan materiil dan idiil pada para anggotanya.
Macama-macam fungsi partai politik, antara lain :
1. Sosialisasi Politik
Yaitu proses pembentukan sikap dan orientasi politik para anggota masyarakat.
2. Rekrutmen Politik.
yaitu seleksi dan pemilihan serta pengangkatan seseorang atau sekelompok orang untuk melaksanakan sejumlah peranan dalam sistem politik pada umumnya dan pemerintahan pada khususnya.
3. Partisipasi Politik
Kegiatan warga negara biasa dalam mempengaruhi proses pembuatan dan pelaksanaan kebijakan umum dan dalam ikut menentukan pemimpin pemerintahan.
4. Pemandu Kepentingan.
Yaitu kegiatan menampung, menganalisis dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan menjadi beberapa alternatif kebijakan umum, kemudian diperjuangkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
5. Komkunikasi Politik
Yaitu proses penyampaian informasi mengenai politik dari pemerintah kepada rakyat atau sebaliknya.
6. Pengendalian Konflik
Partai politik berfungsi mengendalikan konflik melalui dialog dengan pihak-pihak yang berkonflik, menampung dan memadukan berbagai aspirasi (cita-cita) dan kepentingan dan membawa permasalahan ke dalam musyawarah badan perwakilan rakyat (DPR) untuk mendapat penyelesaian berupa keputusan politik.
Platform partai politik adalah kebijakan atau program yang ditawarkan partai politik untuk melaksanakan fungsinya sebagai tempat aspirasi anggotanya. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku politik adalah :
  1. Lingkungan sosial politik tidak langsung, seperti sistem politik, media massa, sistem budaya, dan lain-lain.
  2. Lingkungan politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor, seperti keluarga, teman, agama, kelas, dan sebagainya.
  3. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu.
  4. Faktor sosial politik langsung berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika hendak melakukan sesuatu kegiata politik, seperti suasana kelompok, ancaman, dan lain-lain.
Faktor yang mempengaruhi pemilih dalam memberikan suaranya kepada partai politik tertentu dapat dibedakan menjadi empat sesuai dengan pendekatan yang digunakan, yaitu :
1. Pendekatan Struktural
Kegiatan memilih merupakan produk dari konteks struktur yang lebih luas, seperti struktur sosial, sistem kepartaian, sistem pemilu, program yang ditonjolkan partai dan lain-lain.
2. Pendekatan Sosiologis
Kegiata memilih sangat dipengaruhi oleh konteks sosial, yaitu latar belakang demografis dan sosial ekonomi, seperti jenis kelamin, tempat tinggal (desa-kota), pekerjaan, pendidikan, dan sebagainya.
3. Pendekatan Psikologi Sosial
Kegiatan memilih dipengaruhi oleh identifikasi partai. Partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengan pemilih merupakan partai yang akan selalu dipilih tanpa terpengaruh oleh faktor-faktor lain.
4. Pendekatan Pilihan Rasional
Kegiatan memilih sebagai produk kalkulasi untung dan rugi.
Di dunia ini ada beberapa negara yang tidak memiliki partai politik, diantaranyaArab Saudi, Berunai Darussalam, dan lain-lain. Tipologi partai politik dapat dibedakan dari faktor-faktor, yaitu :
  1. Faktor sumber-sumber dukungan partai.
  2. Faktor organisasi internal partai
  3. Faktor cara bertindak dan fungsi.
Dari faktor sumber dukungan partai, tipologi partai politik dapat dibedakan menjadi 2 yaitu :
  1. Partai Komperhensif. Yaitu partai yang berorientasi pada pengikut (clientele-orientied), yaitu partai yang berusaha mendapatkan suara sebanyak mungkin dari setiap warga negara.
  2. Partai Sektarian. Yaitu partai yang memakai kelas, daerah (region), agama, atau ideologi sebagai daya tariknya.
Dilihat dari organisasi internal, partai politik dibedakan menjadi :
  1. Partai Tertutup. Yaitu partai dengan keanggotaan terbatas atau partai yang mengenakan kualifikasi (persyaratan) yang ketat untuk anggotanya.
  2. Partai Terbuka. Yaitu partai yang membolehkan setiap orang menjadi anggota dan mengenakan persyaratan yang sangat ringan atau tidak ada sama sekali bagi keanggotaannya.
Dari cara bertindak dan fungsinya, partai politik dapat dibedakan menjadi :
  1. Partai Khusus (Specialized). Yaitu partai yang menekankan keterwakilan (representatif), agregasi (pengumpulan), pertimbangan dan perumusan kebijakan, partisipasi serta kontrol pemerintah untuk maksud-maksud terbatas dan untuk suatu periode waktu tertentu.
  2. Partai Menyebar (Difussed). Yaitu partai yang menekankan integrasi, pengawasan permanen dan total, mobilisasi dan pembangunan institusi.
 Sistem kepartaian bersifat integratif bilamana partai yang ada bersifat sektarian dalam menekankan penolakan simbol-simbol aksi politik, tertutup dan menyebar. Sistem kepartaian bersifat kompetitif bilamana partai tersebut komperhensif, dimana organisasi partai bersifat terbuka dan fungsi-fungsinya terspesialisasikan. Sistem partai integratif cendrung menjadi sistem partai tunggal, sedang sistem kepartaian kompetitif cendrung untuk mempunyai sedikitnya dua partai atau lebih.
Dari segi jumlah partai yang ada, partai politik dapat dibekan menjadi :
  1. Sistem partai tunggal
  2. Sistem dwi partai
  3. Dan sistem multi partai

Partisipasi Politik
Partisipasi politik adalah keikutsertaan warga negara biasa dalam menentukan keputusan yang menyangkut dan mempengaruhi hidupnya. Asumsi yang mendasari partisipasi politik adalah orang yang paling tahu tentan kebutuhan dan apa yang baik bagi dirinya adalah orang itu sendiri. Ada beberapa macam bentuk partisipasi politik, yaitu :
  1. Partisipasi aktif. Yaitu kegiatan mengajukan usul mengenai suatu kebijakan, mengajukan kritik terhadap suatu kebijakan, membayar pajak dan memilih pemimpin atau pemerintahan.
  2. Partisipasi pasif. Yaitu kegiatan yang mentaati pemerintah, menerima dan melaksanakan apa saja yang diputuskan pemerintah.
  3. 3.       Golongan Putih (GOLPUT).
  4. Partisipasi politik otonom. Yaitu suatu model pertisipasi politik yang dicirikan berkembangnya inisiatif mandiri dari rakyat untuk berpartisipasi dalam politk dan pemerintahan.
  5. Partisipasi politik yang dimobilisasi.
Hambatan bagi partisipasi politik otonom, yaitu :
  1. Hambatan struktural, yaitu kecendrungan pada negara untuk melakukan regulasi politk secara ketat agar kepentingan negara teramankan.
  2. Hambatan kultural, yaitu tingkat pengetahuan, kesadaran dan kecerdasan politik rakyat yang belum memadai.
Contoh atau model partisipasi politik masyarakat antara lain :
  1. Kegiatan warga negara untuk mengikuti pemilihan umum.
  2. Lobi, yaitu usaha perorangan atau kelompok untuk mempengaruhi proses pengambilan keputusan.
  3. Kegiatan berorganisasi yang tujuannya adalah untuk mempengaruhi pengambilan keputusan.
  4. Tindakan kekerasan juga bisa merupakan suatu bentuk partisipasi.
Faktor yang mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat partisipasi politik adalah kesadaran politik dan kepercayaan kepada pemerintah (sistem politik).

PEMILIHAN UMUM

Pemilihan Umum (PEMILU) adalah pemberian suara oleh rakyat melalui pencoblosan tanda gambar untuk memilih wakil-wakil rakyat atau anggota DPR. Makna hak pilih adalah hak setiap warga negara untuk mengikuti pemilu atau mencoblos tanda gambar dalam pemungutan suara. Setiap warga negara yang pada waktu pemilu sudah berusia 17 tahun atau sudah/pernah kawin mempunyai hak memilih. Fungsi pemilihan umum adalah mengatur prosedur seseorang untuk dipilih menjadi anggota badan perwakilan rakyat (DPR) atau kepala pemerintahan.
Ada beberapa tujuan pemilihan umum, yaitu :
  1. Sebagai mekanisme untuk menyeleksi para pemimpin pemerintahan dan alternatif kebijakan umum.
  2. Mekanisme untuk memindahkan konflik kepentingan dari masyarakat kepada badan perwakilan rakyat sehingga integrasi masyarakat tetap terjamin.
  3. Sarana memobilisasikan atau menggalang dukungan rakyat terhadap negara dan pemerintahan dengan jalan ikut serta dalam proses politik.
Ada dua macam pelaksanaan sistem pemilu, yaitu :
  1. Pemilu Sistem Distrik.
Sistem pemilihan di mana wilayah suatu negara yang menyelenggarakan pemilu menentukan distrik-distrik pemilihan yang jumlanya sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan atau tersedia di parlemen (DPR). Tiap distrik hanya memilih seorang wakil untuk mewakili distrik bersangkutan di DPR. Calon terpilih adalah calon yang memperoleh suara terbanyak di distrik itu. Dalam sistem ini yang dipilih bukan partai, tetapi si calon. Sistem distrik umumnya lebih sesuai dengan sistem dua partai agara suara yang hilang tidak terlalu banyak.
2.       Pemilu Sistem Proporsional
Sistem pemilihan di mana wilayah suatu negara dibagi atas daerah-daerah pemilihan dan kepada daerah-daerah ini dibagikan sejumlah kursi yang diambil dari kursi yang tersedia di parlemen untuk diperebutkan dalam pemilihan umum di daerah tersebut. Pembagian kursi didasarkan pada faktor imbangan jumlah penduduk. Kursi-kursi tersebut dibagikan kepada partai politik peserta pemilu sesuai dengan imbangan yang diperoleh masing-masing partai dalam pemilu. Misalnya 400.000 suara satu kursi, maka setiap partai akan mendapat satu kursi jiak bisa mencapai jumlah tersebut, sehingga wakil dari satu daerah pemilihan untuk anggota DPR lebih dari satu orang. Dalam sistem ini yang dipilih adalahh tanda gambar, bukan calon.
Dalam sistem pemilu proporsional yang ditonjolkan atau yang diutamakan adalah partai-partai politik (orsospol) peserta pemilu yang dikampanyekan adalah program atau ideologi orsospol tersebut. Pimpinan orsospol berkuasa penuh menentukan calon-calonnya dalam suatu pemilu, demikian juga urutannya. Karen itu dapat dipastikan bahwa loyalitas para calon sangat tinggi terhadap orsospolnya.
Sistem proporsional dapat dilaksanakan dalam beberapa model, yaitu;
  1. single tranferrable vote, di mana calon terpilih didasarkan “urutan keutamaan”. Bila suara untuk satu calon sudah terpenuhi, maka kelebihannya akan ditransfer pada urutan berikutnya dan seterusnya.
  2. stelsel daftar (lis stelsel). Dalam daftar (lis) dicantumkan para calon dari masing-masing peserta pemilu. Cara ini dikembangkan dengan dua pilihan. Pertama, kepada para pemilih diberikan kesempatan untuk memilih tanda gambar kedua, para pemilih diberi kesempatan untuk memilih gambar atau nama calon yang terdaftar.
Keunggulan sistem distrik, yaitu :
  1. karena kecilnya distrik, maka wakil terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik. Sehingga hubungannya dengan penduduk distrik lebih erat. Dengan demikian dia akan lebih terdorong untuk memperjuangkan kepentingan distrik. Lagipula kedudukannya terhadap partainya akan lebih bebas, oleh karen dalam pemilihan semacam ini faktor personalitas dan kepribadian seseorang merupakan faktor terpenting untuk dapat terpilih.
  2. Sistem distrik mendorong ke arah integrasi atau aliansi partai-partai politik karena kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik pemilihan hannya satu. Hal ini mendorong partai-partai kecil mengesampingkan perbedaan-perbedaan yang ada dan mengadakan kerja sama. Sistem distrik akan mendorong penyederhanaan partai-partai tanpa pelaksana.
  3. Berkurangnya partai dan meningkatnya kerja sama antar partai-partai, mempermudah terbentuknya sistem politik yang stabil dan meningkatkan stabilitas nasional.
  4. Sistem ini sederhana dan mudah untuk dilaksanakan.
Kelemahan sistem distrik, yaitu :
  1. Sistem ini kurang memperhatikan adanya partai-partai kecil dan golongan minoritas, apalagi bila golongan-golongan ini terpencar dalam berbagai distrik.
  2. Sistem ini kurang representatif dalam arti bahwa calon yang kalah dalam suatu distrik kehilangan suara-suara yang telah mendukungnya. Hal ini berarti ada sejumlah suara yang tidak diperhitungkan sama sekali.
Keunggulan sistem proporsional, yaitu :
  1. Sistem ini dianggap representatif oleh karena jumlah wakil orsospol terpilih dalam suatu pemilu sesuai dengan imbangan jumlah suara yang diperolehnya.
  2. Sistem ini dianggap lebih adil, karena semua golongan dalam masyarakat mempunyai peluang untuk memperoleh wakil di parlemen.
Kelemahan sistem proporsional, yaitu :
  1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai baru. Sistem ini tidak menjurus ke arah integrasi bermacam-macam golongan dalam masyarakat. Mereka lebih cendrung untuk mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada dan kurang terdorong untuk mencari dan memanfaatkan persamaan-persamaan. Karen itu, sistem ini kurang mendorong partai-partai untuk bekerja sama apalagi berintegrasi. Partai yang bersaing menyulitkan munculnya mayoritas sederhana apalagi absolut dalam suatu pemilu.
  2. Sistem ini memberikan kedudukan yang kuat pada pimpinan orsospol dalam penentuan calon-calonnya.
  3. Organisasi dan biaya sistem ini agak besar.
Dalam sistem distrik dikenal hak recall. Tetapi bila hak recall digunakan, maka pada distrik pemilihan yang wakilnya di – recall, diadakan pemilihan ulang. Jadi kalau digunakan hak recall, maka ada kemungkinan wakil dari distrik tersebut dapat terganti dengan calon dari partai lain.
Kampanye pemilu adalah kegiatan partai politik yang menghadirkan massa di mana juru kampanye menyampaikan program partai politik dan massa mendengarkan atau menanyakan tentang program-program itu. Juru kampanyeadalah orang yang bertugas menyampaiakan program partai politik baik melalui ceramah, diskusi atau forum yang lain.
Syarat-syarat pemilu yang demokratis, yaitu :
  1. ada pengakuan terhadap hak pilih universal. Semua warga negara, tanpa pengecualian yang bersifar  politis dan ideologis, diberi hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu.
  2. Ada keleluasaan untuk membentuk “tempat penampungan” bagi pluralitas aspirasi masyarakat pemilih. Masyarakat memiliki alternatif pilihan saluran aspirasi politik yang leluasa. Pembatasan jumlah kontestan atau organisasi peserta pemilu (OPP) – yang hanya mempertimbangkan alasan yuridis – formal dengan menafikan perkembangan real aspirasi masyarakat – adalah sebuah penyelewengan dari prinsip ini.
  3. Tersedia mekanisme rekrutmen politik bagi calon-calon wakil rakyat yang demokratis. Harus ada sebuah mekanisme pemilihan calon wakil rakyat yang tidak top down (diturunkan oleh elite partai dan penguasa, dari atas), melainkan bottom up (berdasarkan inisiatif mandiri dan aspirasi dari bawah). Praktek dropping calon wakil rakyat yang berjalan di Indonesia selama ini adalah sebuah kekeliruan. Seusai pemilihan di tingkat internal partai, seyogiyanya tidak ada mekanisme eksternal – partai yang dapat membatalkan – keputusan demokratis yang telah dibuat di dalam partai.Pemerintah, misalnya, selayaknya tidak diberik kekuasaan birokratis untuk melakukan seleksi akhir atas nama calon wakil rakyat yang diajukan partai.
  4. Ada kebebasan bagi pemilih untuk mendiskusikan dan menentukan pilihan. Masyarakat pemilih – pada semua lapisan – kurang diberi keleluasaan untuk tahu figur-figur yang harus mereka piliih, seberapa dekat aspirasi politik sang calon legislator itu dengan aspirasi politk mereka, dan mendiskusikan semua itu secara demokratis. Tentu saja, keleluasaan-keleluasaan itu harus dilengkapi dengan keleluasaan lain : kekuasaan menentukan pilihan. Tanpa keleluasaan-keleluasaan tersebut sebuah prosesi pemilu dapat menjebak masyarakat pemilih untuk “membeli kucing dalam karung”. Bahkan, potensial mengubah pemilu sebagai sebuah “pesta demokrasi” menjadi “pesta mobilisasi”.
  5. Ada komite atau panitia pemilihan yang independen. Sebuah pemilu yang sehat membutuhkan sebuah komite yang tidak memihak : komite yang tidak berpretensi untuk merekayasa akhir pemilu.
  6. Ada keleluasaan bagi setiap kontestan untuk berkompetisi secara sehat. Peluang kompetisi ini tentu saja mesti diberikan mulai dari prolog sebuah pemilu (penggalangan massa serta pemassalan ideologi dan program partai), dalam tahap rekrutmen dan penyeleksian calon anggota legislatif, hingga ke tahap kampanye dan tahap-tahap berikutnya.
  7. Penghitungan suara yang jujur. Adalah percuma memenuhi semua persyaratan di atas, manakala pada akhirnya tidak ada penghitungan suara yang jujur – dalam arti faktual dan transparan.
  8. Netralitas birokrasi. Dalam praktek sistem politik manapun, prosesi pemilu tidak bisa melepaskan diri dari peran birokrasi. Bagaimanapun, manajemen pemilu adalah sebuah kerja birokrasi. Dalam konteks ini, pemilu demokratis – kompetitif membutuhkan birokrasi yang netral, tidak memihak, dan tidak menjadi perpanjangan tangan salah satu kekuatan politik yang ikut bertarung dalam pemilu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar